top of page

Narasi Perjuangan - Zalfa Zahira

  • Writer: FKUI 2022
    FKUI 2022
  • Aug 14, 2022
  • 8 min read

Sepuluh tahun lalu ada seorang anak perempuan yang selalu antusias ketika sakit flu, bersemangat ketika mengunjungi rumah sakit, dan merasa kagum setiap melihat dokter mengenakan jas putih dengan stetoskop dikalungkan di leher. Sama sekali tidak dia sangka, bahwa pada tahun 2022 dirinya akan menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran di universitas terbaik, Universitas Indonesia.

Anak perempuan itu adalah saya. Saya lahir di Surabaya pada tanggal 7 April 2004 dengan nama Zalfa Zahira. Keluarga dan beberapa teman masa kecil kerap memanggil saya dengan sapaan Zahira, tetapi saat ini kebanyakan orang memanggil saya dengan nama Zalfa. Meskipun begitu, saya sama nyamannya dengan kedua panggilan tersebut. Saya baru saja lulus dari MAN Insan Cendekia Serpong, sekolah tempat saya menghabiskan waktu, pikiran, dan tenaga, serta memperoleh ilmu dan pengalaman selama tiga tahun terakhir. Saat ini saya melanjutkan studi ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia kelas S1 reguler yang saya peroleh lewat jalur masuk SBMPTN, tempat saya akan menghabiskan waktu, pikiran, dan tenaga, serta memperoleh ilmu dan pengalaman beberapa tahun ke depan.

Saya memandang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sebagai tempat memperoleh pendidikan dokter terbaik di negeri ini. Dengan FKUI sebagai sekolah kedokteran tertua di Indonesia, saya merasa akan menjadi sebuah kehormatan jika saya menempuh pendidikan di sini. Saya yakin, FKUI adalah tujuan terbaik yang akan memberikan saya privilise untuk belajar dari dokter-dokter terbaik, dengan fasilitas dan lingkungan yang sangat mendukung, serta bersama teman-teman yang hebat. Saya juga berdomisili di Jakarta, tidak jauh dari tempat UI berada, maka dari itu saya cukup sering melewati area kampus UI. Hal-hal itulah yang kemudian menjadi motivasi saya untuk masuk ke FKUI.

Saat kecil, saya selalu ingin menjadi seorang dokter. Rasa kagum selalu muncul setiap saya mengunjungi klinik dan rumah sakit, baik untuk sekadar menjenguk keluarga dan teman maupun memeriksakan diri sendiri yang sedang sakit. Mata kecil saya dulu memandang rumah sakit sebagai tempat tergantungnya harapan-harapan. Harapan dari pasangan yang menanti kelahiran anaknya, harapan dari orang-orang yang menanti keberhasilan operasi keluarganya, harapan dari orang tua akan kesembuhan anaknya juga sebaliknya, harapan dari kerabat akan selamatnya anggota keluarga dari penyakit dan bencana yang mengancam nyawa, juga harapan-harapan lainnya, dan dokter serta tenaga kesehatan lainnya adalah sebagai perantara dari terkabulnya harapan-harapan tersebut. Namun, impian saya menjadi seorang dokter tidak bertahan semulus itu. Saat SD, setidaknya lima kali saya mengubah cita-cita saya, mulai dari menjadi guru sampai menjadi penulis. Impian menjadi dokter terkubur sementara, alasannya adalah saya belum menemukan alasan yang kuat untuk menjadi dokter, sedangkan menjadi dokter bukanlah suatu hal yang mudah dicapai. Memasuki masa SMP, saya sangat tertarik kepada pelajaran Matematika dan Seni Budaya. Berusaha mencocokkan kedua mata pelajaran yang saya sukai itu, saya menemukan potensi cita-cita baru: Arsitek. Saya mulai menyelami informasi tentang arsitektur, berusaha jatuh cinta dengan bidang tersebut karena saya merasa tidak ada profesi lain yang lebih realistis bagi saya untuk mencapainya. Sampai pada awal masa SMA, saya masih setia menjawab arsitektur setiap ditanya tentang cita-cita.

Lalu, kenapa akhirnya masuk ke FKUI?

Titik balik dari perjalanan saya mencari cita-cita adalah saat dunia digemparkan oleh pandemi. Saat itu adalah pertengahan semester genap kelas 10, saya yang semulanya tinggal di asrama sekolah kembali ke rumah, belajar di rumah. Waktu saya di rumah banyak dihabiskan dengan berselancar di sosial media, mencari informasi terbaru tentang pandemi. Sering sekali mendengar kabar tentang banyaknya tenaga kesehatan yang gugur, sulitnya akses rumah sakit, dan tentu membanjirnya jumlah korban jiwa dari pandemi. Hal-hal tersebut perlahan membuka kembali mata saya, menggali kembali ruang hati saya, menemukan sebuah celah kecil dalam hati akan keinginan menjadi seorang dokter yang sempat terkubur. Saya ingin membantu banyak orang, saya ingin berkontribusi kepada kehidupan manusia. Akan tetapi, saya tidak langsung membuat keputusan untuk menjadi dokter pada saat itu, saya tetap mempertimbangkan arsitek sebagai tujuan yang realistis, sedangkan dokter sebagai tujuan dari sisi idealis saya. Tahun kedua di SMA saya habiskan untuk mulai mempersiapkan diri ke perguruan tinggi, saya berusaha untuk bergabung dengan banyak kegiatan, salah satunya adalah menjadi anggota Klub Bidang Studi Biologi, semacam kelompok persiapan menuju olimpiade yang akan mewakili sekolah pada kompetisi tingkat kota hingga internasional. Walaupun pada akhirnya saya tidak terpilih sebagai delegasi sekolah untuk olimpiade, menjadi anggota KBS Biologi menyadarkan saya akan potensi dan ketertarikan saya kepada mata pelajaran Biologi. Bertambah satu lagi alasan untuk menjadi dokter: karena saya suka dan cukup menguasai pelajaran Biologi. Tahun kedua masa SMA berakhir, saatnya liburan kenaikan kelas, mengistirahatkan diri sebelum lanjut ke tahun paling berat, tahun ketiga SMA.

Peristiwa yang kemudian benar-benar mengubah hidup saya terjadi. Masa liburan kenaikan kelas yang berjumlah dua minggu itu harus saya relakan karena seluruh anggota keluarga saya, termasuk saya, terpapar Covid-19. Saat itu kasus Covid-19 di Indonesia sedang mencapai masa puncaknya, puluhan ribu kasus baru bertambah setiap hari. Sama sekali bukan hal yang mudah menjalani hari-hari liburan kali itu. Saya yang sedang dilanda kegalauan tentang jurusan serta universitas apa yang akan dituju harus menghabiskan waktu di kasur, tidak bisa banyak berdiskusi dengan keluarga karena kami semua harus saling mengisolasikan diri. Ibu saya, saya sebut Mama, adalah pengidap diabetes. Mama yang juga terpapar Covid-19 saat itu awalnya hanya bergejala ringan, sama seperti anggota keluarga lainnya. Namun pada hari ketiga, gejala yang Mama alami kian memburuk. Kami sekeluarga berusaha mencari rumah sakit untuk menangani Mama. Sayang sekali, saat itu semua rumah sakit penuh pasien, bahkan rumah sakit yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggal saya. Akhirnya kami setuju untuk merawat Mama di rumah, dengan bantuan tabung oksigen serta konsultasi dengan dokter secara daring. Tentu hal itu bukanlah cara terbaik untuk menangani pasien Covid-19 dengan gejala berat, tetapi itulah usaha terbaik yang kami bisa lakukan saat itu. Tiga hari sebelum dimulainya tahun ajaran baru, kami semua mulai pulih. Termasuk Mama, yang pada pagi hari itu saya lihat napasnya mulai lebih teratur dari sebelumnya. Saya pun memutuskan untuk memulai semangat baru, semangat untuk pulih, semangat menyambut tahun persiapan seleksi perguruan tinggi. Pagi itu, saya membuka bungkusan plastik dari buku persiapan UTBK yang sudah saya beli sebelumnya, merapikan buku-buku di meja belajar, menata kembali ruang kamar, juga menuliskan rencana belajar di buku jurnal. Pagi itu, rasanya hidup saya mulai memiliki tujuan. Sore hari itu, tiba-tiba kondisi Mama memburuk kembali, Papa mulai mencari informasi rumah sakit yang tersedia, dan malamnya Mama dibawa Papa dan kakak saya mencari kembali rumah sakit. Saya tinggal di rumah bersama adik saya malam itu, menunggu sambil berdoa semoga Mama mendapatkan penanganan yang baik. Lagi, bagi saya rumah sakit adalah tempat tergantungnya harapan. Dan pada malam itu, tergantung harapan saya di antara harapan-harapan orang lain, yaitu semoga Mama bisa pulih dari Covid-19 dan kembali beraktivitas di rumah secepat mungkin. Tengah malam, kakak saya memberi kabar kalau Mama berhasil sampai ke sebuah rumah sakit, tetapi tidak bertahan sampai dokter menangani. Malam itu, harapan yang saya gantungkan di rumah sakit dan profesi dokter yang sungguh saya kagumi jatuh, bersama juga dengan dunia yang terasa seakan runtuh. Malam itu, diri saya hancur, tapi tidak sepenuhnya. Ada setitik api tekad dalam diri saya yang mulai menyala. Harapan saya malam itu mungkin tidak terwujud, tetapi saya mau dan bertekad untuk mewujudkannya bagi orang lain. Suatu saat nanti, semoga saya bisa menjadi perantara dari terwujudnya harapan orang-orang yang menanti keluarganya kembali dari rumah sakit dengan sehat.

Kelas 12, tahun terakhir di SMA. Saya benar-benar sudah membulatkan tujuan, saya akan menjadi seorang dokter. Hari-hari saya jalani dengan mencari informasi tentang sekolah kedokteran yang ada di Indonesia, belajar dengan sungguh-sungguh, berdoa, dan terus begitu. Tentu sejak awal mencari pilihan universitas saya sudah menaruh perhatian kepada Universitas Indonesia yang memiliki fakultas kedokteran tertua dan terbaik di Indonesia, tetapi saat itu saya tidak cukup percaya diri, saya ada di posisi hampir setengah terbawah di jurusan MIPA angkatan saya pada saat pemeringkatan untuk SNMPTN. Sampai pada suatu saat seorang lulusan dari sekolah saya memberi pesan dalam suatu acara, “Ketika punya mimpi yang terlalu tinggi, bukan mimpinya yang diturunkan, tetapi usahanya yang ditingkatkan,”. Saya berpikir kembali, jika saya memang ingin bersekolah di FKUI yang menurut saya adalah tujuan terbaik, mengapa saya harus mundur sebelum mencoba hanya karena tidak percaya diri? Apakah saya takut gagal? Namun bukankah saya sudah gagal dari awal jika tidak berani mencoba? Maka saya putuskan untuk mengejar FKUI.

Saya tidak memilih FKUI pada SNMPTN dan ternyata saya tidak lulus, tetapi saya sangat bersyukur. Bersyukur karena itu artinya saya memiliki kesempatan untuk mendaftarkan diri ke FKUI lewat jalur berikutnya, jalur SBMPTN. Selama mempersiapkan diri menuju UTBK SBMPTN tidak jarang saya mendapatkan respons kurang mendukung dari beberapa pihak, banyak yang mengatakan bahwa saya terlalu nekat dan tidak punya strategi, tetapi lebih banyak yang mendukung dan terus menyemangati saya, maka dari itu saya tetap bertahan memperjuangkan impian saya. Hari UTBK tiba, saya datang ke lokasi ujian dan mengerjakan semua soal yang saya bisa. Tidak sedikit soal yang saya merasa kesulitan dalam mengerjakannya, beberapa soal juga saya jawab dengan penuh keraguan. Saya kembali ke rumah hari itu dengan perasaan lega campur khawatir. Hari-hari menanti pengumuman SBMPTN saya isi dengan penuh tanda tanya di kepala, sambil terus mempersiapkan diri untuk rencana B, yaitu mengikuti tes seleksi mandiri.

Hari pengumuman SBMPTN tiba. Pagi harinya saya berusaha tetap tenang dan melakukan aktivitas seperti biasa, kemudian pukul tiga sore, masih dengan mukena lengkap, saya membuka lama pengumuman perlahan. Saya membukanya sendiri saat itu karena Papa sedang berada di luar kota. Tiga puluh menit saya habiskan untuk menatap layar laman penerimaan yang belum saya klik hasilnya sambil berdoa dalam hati. Saya membuka hasil, terlihat kata “selamat” terpampang jelas di layar, bersama dengan keterangan kelulusan. Pendidikan Dokter Universitas Indonesia. Hari itu mungkin menjadi salah satu hari terbaik yang pernah saya alami selama hidup. Saya yang merasa sangat bersyukur kemudian mengabari Papa, anggota keluarga lainnya, juga teman-teman. Hal yang sebelumnya hampir tidak akan terwujud dalam hidup saya karena tidak berani saya ambil, pada akhirnya berhasil saya gapai atas dasar keberanian dan tekad yang kuat.

Saya sadar bahwa saya masih punya banyak kekurangan, salah satunya adalah rasa takut dan tidak yakin dengan kemampuan diri sehingga sering melewatkan kesempatan, maka dari itu saya berkomitmen untuk bisa lebih berani dan percaya diri setelah menjadi mahasiswa FKUI, saya juga berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas diri dan mengembangkan potensi-potensi yang saya miliki.

Saya berharap selama menempuh pendidikan di FKUI saya dapat mengikuti dengan aktif seluruh kegiatan akademik maupun non-akademik, bersosialisasi dengan baik dengan seluruh civitas, berkontribusi positif kepada komunitas FKUI, lingkungan, dan masyarakat, serta bisa mengamalkan ilmu-ilmu yang saya dapatkan. Saya berharap semoga angkatan 2022 FKUI bisa terus maju sebagai angkatan yang solid dan penuh kebersamaan, menorehkan banyak prestasi yang membanggakan, serta lulus dengan baik dan menjadi dokter-dokter hebat yang berkontribusi pada bidang kesehatan di Indonesia maupun dunia.

Rencana-rencana saya selama masa preklinik yaitu pertama mengikuti kegiatan perkuliahan dengan baik dan mendapatkan nilai yang memuaskan, hal tersebut bisa saya raih dengan cara aktif dalam pembelajaran, bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan ujian, serta mengatur waktu dengan baik. Kedua, saya ingin setidaknya mengikuti satu kepanitiaan atau organisasi, untuk itu saya harus menjadi anggota IKM yang aktif dan berkomitmen untuk aktif berorganisasi tanpa mengganggu akademik saya. Sedangkan rencana jangka panjang saya adalah menjadi dokter muda atau dokter yang dapat diandalkan, berani mengambil keputusan, dan berkontribusi dalam meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia. Saya juga memiliki mimpi untuk bergabung dalam kegiatan sukarelawan sebagai tenaga medis. Untuk mencapai rencana-rencana saya tersebut, tentunya saya harus bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan diri, saya juga harus berani dalam memulai gerakan-gerakan kecil yang bisa membantu masyarakat di sekitar saya.

Saya berharap bisa memberikan konstribusi terbaik saya terhadap kesehatan masyarakat Indonesia, saya juga berharap bisa menjadi bagian dari meningkatnya kualitas kesehatan dan hidup masyarakat Indonesia. Untuk itu saya harus memulai dari meningkatkan kualitas kesehatan diri sendiri, juga mengajak dan mengedukasi keluarga, teman, serta orang-orang di sekitar saya.

Sedikit pesan untuk adik-adik kelas yang membaca esai saya sampai pada paragraf ini dan bermimpi untuk melanjutkan studi ke FKUI, yakinlah kepada kemampuan diri kalian dan kejarlah mimpi dengan penuh percaya diri. Apa yang memang menjadi takdir kita tidak akan melewatkan kita, jadi jangan terlalu takut gagal dalam bermimpi. It is better an “oops” than an “if”, lebih baik gagal setelah mencoba dari pada gagal dari awal dan terus berangan-angan karena tidak mencoba sama sekali. Terus semangat, persiapkan diri kalian sebaik mungkin, semoga kita bisa berjumpa di FKUI suatu saat nanti.


 
 
 

Recent Posts

See All

Comments


Find Us On!

  • Instagram
  • Twitter
  • Youtube

© 2022 FKUI Brilian

bottom of page