Narasi Perjuangan - Yoan Alfando
- FKUI 2022
- Aug 14, 2022
- 12 min read
Realitas Sebuah Mimpi
Mungkinkah mimpi belaka yang tercipta dalam sekejap berubah menjadi sebuah realitas?
Halo semuanya! Perkenalkan, nama saya Yoan Alfando, akrab disapa Alfan oleh teman-teman FKUI 2022. Saya lahir pada tanggal 24 Januari 2005. Sedari lahir, saya besar dan tinggal di Bekasi sehingga dapat dikatakan bahwa saya adalah orang Bekasi. Namun, selepas lulus dari bangku SMP, saya memutuskan untuk menempuh pendidikan di tempat yang lebih jauh. Ya, saya merupakan alumnus SMA Negeri 8 Jakarta, salah satu SMA terkemuka yang terletak di kawasan Bukit Duri, Jakarta Selatan. Dua bulan yang lalu, saya baru saja meninggalkan bangku SMA. Puji Tuhan, atas kehendak baik dan berkat yang tiada henti diberikan oleh-Nya, saya mampu melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia melalui jalur SNMPTN. Inilah cuplikan kisah dari perjalanan serta perjuangan saya dalam menggapai FK UI tercinta.
Siapa yang tidak mengenal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia? Fakultas berlambang makara hijau yang berisikan insan-insan terpilih. Fakultas yang diagung-agungkan oleh jutaan sukma dengan tingkat persentase penerimaan terkecil di Indonesia. Fakultas yang dijadikan tempat sandaran ribuan siswa kelas 12 dalam menaruh mimpinya. Fakultas yang selalu disematkan dalam doa ribuan siswa. Fakultas yang dikenal berkat hamparan prestasi gemilangnya. Fakultas tempat ditempanya ribuan sosok dokter yang kompeten dan unggul di bidangnya. Serta, fakultas terhormat yang akan menjadi tempat bagi saya dalam berproses guna menjadi dokter di kemudian hari. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan rasanya apabila saya menyebutkan bahwa Fakultas Kedokteran tertua ini merupakan Fakultas Kedokteran terbaik di Indonesia. Semua hal itulah yang memotivasi saya untuk selalu giat dalam mengejar program studi serta universitas yang saya agungkan, FK UI.
Menjadi seorang dokter merupakan impian banyak anak di Indonesia, bahkan hampir seluruh mahasiswa kedokteran pasti bermimpi menjadi dokter sedari kecil. Hal tersebut sangatlah jauh berbeda dengan saya. Dapat saya katakan, saya bukanlah orang yang sejak kecil bermimpi menjadi seorang dokter. Lahir, tumbuh, dan besar di keluarga yang tidak ada seorang pun bergerak di bidang kesehatan, terutama menjadi seorang dokter, membuat saya merasa bahwa dokter bukanlah tujuan dan cita-cita saya. Ketika ditanya oleh keluarga terdekat, dengan sigap dan tanpa keraguan saya menjawab, “Aku ingin menjadi seorang insinyur.” Sejujurnya, insinyur merupakan cinta pertama saya. Pemikiran tersebut didasari oleh minat dan bakat saya pada bidang eksakta.
Sejak duduk di bangku sekolah dasar, saya sangat suka bermain dengan angka dan logika. Orang tua saya yang melihat potensi anaknya dalam bidang tersebut pun menyuruh saya untuk lebih fokus pada mata pelajaran Matematika dibandingkan yang lainnya. Kerap kali saya mengikuti perlombaan Matematika dan mewakili sekolah hingga kota saya. Tak jarang pula, saya menorehkan banyak prestasi. Dengan kegigihan, saya pun mampu masuk ke SMP yang saya inginkan dari kecil.
Memasuki bangku SMP, saya pun kembali dihadapkan dengan pertanyaan terkait ingin menjadi apa saat sudah besar nanti. Saya pun mulai memikirkan hal tersebut, namun orang tua saya berkata bahwa hal tersebut masih terlalu jauh untuk dipikirkan. Saya pun kembali teguh pada pendirian awal untuk menjadi seorang insinyur. Saat SMP, tidak ada perubahan yang signifikan dalam diri saya. Saya hanya belajar, belajar, dan belajar. Saya dipercayakan kembali oleh SMP saya sebagai perwakilan sekolah dalam OSN dan berbagai lomba Matematika lainnya. Hasilnya tidaklah buruk, saya menjadi juara ke-3 di kota dan lolos ke tahap provinsi, namun seperti pepatah “Di atas langit masih ada langit”, saya tidak lolos ke tingkat nasional. Di penghujung bangku SMP, guru BK saya bertanya, “Kamu mau lanjut ke SMA mana, Nak?” dengan yakin saya menjawab bahwa saya ingin masuk SMAN 1 Bekasi. Hari demi hari saya lalui dengan mempersiapkan ujian nasional sebaik mungkin. Saya rajin mengikuti bimbel dan pendalaman materi. Puji Tuhan, saya mendapat peringkat ujian nasional ke-2 di sekolah serta ke-7 di kota Bekasi. Saya pun diundang untuk menghadiri upacara penyerahan penghargaan peserta dengan nilai UN tertinggi. Berjabat tangan dan bercengkerama langsung dengan Bapak Wali Kota Bekasi merupakan suatu kehormatan bagi saya.
Dengan memegang skor UN yang cukup tinggi, tak butuh kesulitan bagi saya untuk bisa diterima di SMA yang saya idam-idamkan. Sekolah yang seringkali saya lalui akhirnya bisa saya gapai. Namun, ayah saya bertanya, “Kamu tidak mau mencoba mendaftar di SMANDEL, Bang?”. Kebetulan, SMAN 8 Jakarta terletak tidak jauh dari kantor ayah. Saat itu, saya terdiam karena tak pernah terpikirkan bagiku untuk menempuh pendidikan di sana. Saya mulai memikirkan pertanyaan ayah saya tersebut. Tanpa berpikir panjang, saya tertarik dengan ucapan ayah saya karena setahu saya banyak alumni SMAN 8 yang masuk ke universitas top luar negeri serta dalam negeri melalui jalur SNMPTN sehingga saya berpikir bahwa masuk ke sana merupakan langkah awal dalam menggapai cita-cita saya. Mengetahui bahwa kuota untuk siswa luar DKI Jakarta sangatlah kecil, saya pun berserah diri. Namun, saya tidak terlalu gelisah karena saya sudah memiliki sekolah cadangan. Pada akhirnya, saya lolos masuk ke SMAN 8 Jakarta.
Saat pertama kali menapakkan diri di SMAN 8, sejujurnya saya merasa takjub bisa menjadi bagian dari sekolah ini. Saya sangatlah bangga, tetapi saya harus siap akan konsekuensi akibat bersekolah di tempat yang jauh. Benar saja, baru satu minggu berlalu, saya sudah merasa tidak kuat. Sebagai pelajar SMA yang menggunakan KRL untuk pulang dan pergi ke sekolah, hal tersebut sangatlah wajar. Setiap hari, saya bangun pukul 04.30 WIB lalu bersiap sedia guna mengejar kereta pagi. Penyesuaian waktu bangun tidur merupakan tantangan terbesar bagi saya. Selain jarak rumah saya yang jauh, jam masuk sekolah di SMA berdurasi 30 menit lebih awal dibandingkan dengan saat SMP. Namun, tidak butuh waktu lama bagi saya untuk menyesuaikan hal tersebut.
Layaknya nama jalan tempat SMAN 8 Jakarta berada, Bukit Duri, saya rasa kata tersebut sangatlah tepat mendeskripsikan betapa beratnya bersekolah disini. Tugas serta ujian yang tak kunjung henti, ritme belajar yang sangat cepat, tingkat kesulitan soal yang sangat tinggi, serta kegiatan yang benar-benar padat membuat saya sedikit menyesali keputusan untuk bersekolah disini. Selain itu, ternyata SMAN 8 tidak seperti yang saya bayangkan pada awalnya. Para siswa dituntut tidak hanya cerdas dalam bidang akademik, tetapi juga aktif dalam bidang nonakademik. Lelah? pasti, tetapi saya bersyukur karena di sekolah ini saya mampu mengembangkan hard skill dan juga soft skill saya. Saya tidak hanya belajar, belajar, dan belajar layaknya Yoan Alfando yang dahulu.
Suatu ketika, pertanyaan yang sama kembali diajukan kepada saya. “Kamu mau ambil jurusan apa saat kuliah nanti?”, ucap guru saya. Ambisi saya untuk berkecimpung di dunia teknik pun semakin besar. Saya mengikuti ekstrakurikuler yang bergerak di bidang teknologi. Selain itu, nilai ujian Matematika dan Fisika semester awal saya pun bisa dibilang hampir sempurna. Akhirnya, saya membulatkan tekad untuk melanjutkan pendidikan ke jurusan teknik di salah satu Institut di Bandung. Di penghujung semester 1, saya mendapatkan peringkat ke-9 di angkatan. Saya cukup puas atas pencapaian tersebut karena itu merupakan modal yang sangat baik untuk masuk ke jurusan yang saya inginkan melalui jalur SNMPTN. Namun, menjelang kelas 11, saya menyadari bahwa alasan saya untuk masuk ke jurusan teknik tidaklah kuat. Ya, alasan saya hanyalah sebatas nilai eksakta saya yang tinggi. Saya tidak memiliki gambaran akan menjadi apa setelah lulus dari jurusan tersebut. Selain itu, saya kurang menyukai pekerjaan yang berhubungan dengan komponen-komponen atau mesin sehingga saya pun berpikiran untuk mengubur mimpi kecil saya dalam-dalam.
Di tahun kedua SMA, pandemi Covid-19 mulai menyebar. Sekolah pun dilakukan secara daring. Sejujurnya, saya cukup senang karena terdapat hal baik yang bisa dipetik bagi siswa berdomisili jauh seperti tidak perlu bangun lebih pagi, tetapi saya juga harus mencari pola belajar baru yang efektif. Selain itu, saya semakin sibuk dalam hal organisasi. Saya terpilih mewakili ekstrakurikuler saya untuk mengikuti rangkaian kegiatan Latihan Kepemimpian Siswa. Saya juga dipercaya untuk mengemban jabatan Bendahara Pengurus OSIS, suatu jabatan yang tidak mudah untuk diemban. Saya mulai belajar membagi waktu saya dengan bijak. Sebagai pelajar, saya tidak boleh terlena dengan sibuknya organisasi. Namun, di tengah kesibukan yang ekstrem, saya tetap mencoba peruntungan dalam mengikuti seleksi KSN tingkat sekolah. Kali ini, saya mencoba bidang yang berbeda dari sebelumnya, bidang Ekonomi.
Kecintaan saya pada bidang Ekonomi dimulai saat awal mula MPLS. Salah satu kakak kelas saya yang berasal dari jurusan IPA ternyata mampu memenangkan medali emas KSN Ekonomi. Saya pun belajar dengan giat guna menjadi perwakilan sekolah. Secara mengejutkan, saya lolos sebagai peringkat ke-2. Saya cukup bangga karena bisa mewakili sekolah saya dan mengingat 2 rekan saya berasal dari jurusan IPS. Walaupun demikian, kehendak Tuhan berkata lain. Seminggu kemudian, saya menerima telepon dari pihak sekolah yang mengatakan bahwa terdapat regulasi baru untuk peserta bidang Ekonomi hanya boleh diikuti oleh siswa jurusan IPS sehingga 1 kursi tersebut diberikan kepada peringkat ke-4. Kecewa? pasti, frustasi? tentu, tetapi saya yakin bahwa Tuhan menyediakan jalan lain bagi saya.
Memasuki tahun terakhir di bangku SMA, banyak tekanan yang saya dapatkan baik dari keluarga maupun diri sendiri. Selain itu, saya belum memiliki tujuan hidup kedepannya yang membuat saya kesulitan dalam memilih program studi kuliah. Saya mendaftarkan diri di salah satu bimbel besar dan memilih kelas saintek tanpa tahu jurusan yang akan saya tuju. Semua orang berkata bahwa sangatlah aneh ketika anak kelas 12 belum menentukan pilihannya. Namun, saya sedikit mendapat pencerahan karena saya menjadi sangat mencintai pelajaran Biologi dan Kimia di kelas 12 ini. Saat itu, kebetulan topik pelajaran Biologi saya adalah Materi Genetik. Pada bab itu, kami mempelajari kromosom, asam nukleat, dan sintesis protein. Saat menghafalkan, saya merasa hal tersebut adalah hal yang saya sukai. Selain itu, ketika mengulang materi kelas 10 dan 11 pun, saya memiliki ketertarikan dalam mengulang materi Sistem Organ Manusia. Ketika nilai PH-1 Biologi dibagikan, guru saya berkata, “Yoan, kenapa kamu tidak ambil FK saja?” Saat itu, saya langsung merenungkan perkataannya, “Kalau suka mempelajari tubuh manusia, kenapa tidak pertimbangkan FK aja ya?”.
Tes minat dan bakat pun saya lakukan. Sesuai dengan ekspektasi, Pendidikan Dokter berada pada urutan pertama jurusan yang direkomendasikan kepada saya. Saya pun segera berkonsultasi pada guru BK terkait peluang SNMPTN saya apabila mengambil Fakultas Kedokteran. Guru BK saya berkata, “Kalau dari 4 semester ini sih kamu aman ambil FK UI, secara ranking kamu berada di urutan kedua untuk peminat FK UI.” Saya sangatlah lega atas ucapan guru saya tersebut, tetapi saya masih belum berani untuk memfiksasi jurusan saya karena keinginan saya pada jurusan lain pun masih ada. Di penghujung semester 5, teman saya mengajak saya untuk mengikuti Kompetisi Ekonomi Nasional yang diadakan oleh FEB UGM. Saya sangat antusias karena selain ini merupakan lomba terakhir saya, terdapat piala bergilir yang bisa dibawa pulang. Kami mempersiapkan kompetisi ini dengan maksimal di tengah menjalankan kehidupan sebagai siswa jurusan IPA. Tak disangka-sangka, kami menjadi pemenang kompetisi itu. Saya benar-benar terharu, namun timbul satu pertanyaan di benak saya, “Apakah Ilmu Ekonomi merupakan jurusan yang Tuhan kehendaki kepada saya?”.
Semester akhir di bangku SMA pun tiba, kegiatan yang berkaitan dengan persiapan masuk PTN sangatlah padat. Hal pertama yang saya tunggu-tunggu adalah peringkat final siswa eligible. Puji Tuhan, saya mendapatkan peringkat ke-1 di semester 5 yang membuat saya berada di peringkat ke-3 siswa eligible. Saya sangat bersyukur kepada Tuhan layaknya sudah mendapatkan SNMPTN itu sendiri. Secara statistika, posisi saya aman karena 2 teman di atas saya mengambil prodi Biologi dan Pendidikan Dokter Gigi yang mana tidak pernah saya minati. Namun, saya masih ragu untuk memfiksasi pilihan saya yang mana terdapat 3 prodi, yaitu FK UI, FEB UI, dan STEI-K ITB. Saya kembali berkonsultasi pada guru bimbel saya. Melihat nilai try out Fisika saya yang sangat buruk bahkan makin hari makin memburuk serta saya tidak memiliki gambaran ingin menjadi apa saat lulus dari jurusan tersebut membuat saya mengeliminasi pilihan STEI-K ITB. Selain itu, lintas jurusan pada SNMPTN kurang disarankan oleh guru serta orang tua saya. Saya pun merelakan FEB UI karena memikirkan saran mereka serta saya pun takut bersaing dengan siswa jurusan IPS itu sendiri.
Hanya satu pilihan yang tersisa, FK UI. Walaupun demikian, saya merasa butuh alasan yang lebih kuat guna menetapkan FK sebagai pilihan saya. Saya kembali berkonsultasi dengan salah satu kakak kelas untuk menanyakan urgensi mana yang lebih tinggi, minat atau bakat. Dari percakapan tersebut, saya mendapat pencerahan bahwa menjalani sesuatu yang kita minati akan terasa lebih mudah dibandingkan dengan terpaksa. Hari pendaftaran SNMPTN semakin dekat, saya benar-benar belum bisa memutuskan. Tiba-tiba, saya jatuh sakit hingga menghambat aktivitas saya sebagai pelajar kelas 12. Ibu saya ikut mendampingi ke rumah sakit. Saat itu, dokter yang bertugas pun melakukan pemeriksaan serta menanyakan beberapa hal kepada saya. Saya sangat takjub karena dengan pemeriksaan tersebut, beliau mampu mendiagnosis penyakitnya. Selain itu, setiap pertanyaan yang kami lontarkan dijawab dengan lembut dan sepenuh hati oleh beliau. Entah mengapa mulut saya tiba-tiba berucap, “Dokter, dahulu mau masuk FK karena apa?” sontak beliau menjawab, “Tujuan hidup saya selaras dengan apa yang dokter lakukan, pengabdian pada masyarakat. Dokter merupakan profesi yang mulia, bukan sekadar menyandang titel besar.” Selama perjalanan pulang saya memikirkan sebetulnya apa yang ingin saya capai serta lakukan di masa depan. Sebetulnya, saya memiliki keinginan untuk memberikan dampak positif dalam kemajuan bidang kesehatan Republik Indonesia. Saya juga merasa tergerak untuk mengabdi pada masyarakat. Kecintaan saya dalam mempelajari anatomi manusia pun semakin meningkat. Sesampainya di rumah, saat orang tua dan adik saya berkumpul bersama di ruang tamu. Layaknya memproklamasikan kemerdekaan, saya mengeluarkan kata-kata, “Ma, pa, aku jadinya ambil FK”. Orang tua saya kaget, namun tampak bangga melihat putranya sudah mampu menentukan jalannya sendiri.
FK UI pun menjadi pilihan satu-satunya di SNMPTN saya. Setelah mendaftar, saya langsung melupakan segala hal terkait SNMPTN dan fokus untuk persiapan UTBK. Saya mengikuti bimbel setiap harinya hingga malam hari bahkan lanjut belajar mandiri hingga dini hari. Rutinitas tersebut saya lakukan terus menerus guna mencapai FK UI. Saya selalu menolak ajakan pergi baik dari orang tua maupun teman. Waktu libur selalu saya gunakan untuk membahas soal UTBK bahkan SIMAK UI. Namun, saya tetap merasa belum siap sehingga kembali timbul perasaan berharap lebih pada SNMPTN. Tiba saatnya H-1 SNMPTN, terdapat informasi bahwa laman sudah bisa diakses pukul 20.00. Jantung saya berdegup kencang dan ibu saya menenangkan anaknya yang panik ini, tetapi ternyata berita tersebut adalah hoax.
Tanggal 29 Maret 2022 pun akhirnya tiba, hari pengumuman SNMPTN. Guru bimbel saya menyuruh semua muridnya untuk membuka di tempat les, tetapi saya berencana untuk membuka di rumah. Seperti takdir, satu jam sebelum pengumuman, tiba-tiba listrik di area rumah saya mati. Saya pun dengan terpaksa harus pergi ke tempat bimbel untuk belajar. Penjelasan materi yang biasanya mampu saya serap dengan mudah terasa sangat sulit dipahami. Saya selalu mengecek countdown yang ternyata sudah tersisa 15 menit lagi. Saya diwajibkan untuk mengerjakan soal kuis, namun saya mengisi semua nomor dengan opsi A sebab tangan saya tidak mampu menggerakan pulpen dengan benar. Ketika sudah menunjukkan pukul 15.00, wali kelas bimbel saya meminta saya menjadi orang pertama untuk mengakses laman SNMPTN. Dengan pasrah, saya memasukkan nomor pendaftaran serta tanggal lahir, namun jempol ini seperti tidak siap memencet tombol terakhir. “Apapun hasilnya, kita semua bangga. Yoan! Yoan! Yoan!”, ujar guru dan teman-teman saya. Saya pun memencet tombol ‘liat hasil’. Teman saya berteriak, saya pun baru membaca kalimat “Selamat! Anda dinyatakan lulus seleksi SNMPTN 2022”. Saya berteriak dengan sangat kencang hingga lantai bergoyang rasanya. Saya seketika memeluk guru saya dengan erat dan mengucapkan rasa terima kasih sebesar-besarnya. Saya tidak bisa menangis saking bahagianya karena ini terasa seperti mimpi bahkan hingga sekarang. Saat itu, saya langsung menelpon orang tua saya dan mereka sangatlah senang dan lega. Segala jerih payah yang telah saya lakukan selama 3 tahun akhirnya terbayar. Rasanya, tidak ada hal yang lebih membahagiakan, terutama mendengar respons histeris dari orang tua saya.
Selama masa SMA, saya seringkali membuang waktu saya dengan cuma-cuma serta terlalu memforsir diri sendiri. Sesudah masuk FK UI, saya berkomitmen untuk menggunakan waktu dengan bijak terutama mengetahuinya padatnya jadwal di FK. Saya tidak ingin membuang setiap waktu dengan begitu saja sebab banyak hal hebat yang mampu saya raih apabila menggunakan waktu dengan bijak. Tidak hanya itu, saya ingin menghargai progres sekecil apa pun yang saya dapatkan. Saya ingin menikmati setiap momen berharga yang saya petik di FK nantinya. Selain itu, saya memiliki harapan untuk diri saya sendiri, yaitu menetapkan tujuan dari setiap hal yang saya lakukan. Saya tidak ingin belajar, belajar, dan belajar saja tanpa mengetahui dengan jelas akan apa yang ingin saya capai sebenarnya seperti saat SMA. Dengan orientasi yang kuat pada tujuan, diharapkan saya mampu mengeksekusi segala hal tanpa mengkhawatirkan apa pun hambatan yang menghalangi saya.
Harapan yang saya miliki untuk angkatan tercinta kami, FK UI 2022. Saya berharap kami mampu mengingat serta menanam teguh identitas angkatan kami, Brilian. Bahu membahu satu angkatan guna unggul di akademik dan nonakademik hingga kelak bersama menjadi dokter yang kompeten. Saya berharap FK UI 2022 tangguh dan tidak mudah menyerah biarpun badai menghadang. Terakhir, harapan saya untuk FK UI 2022 adalah selalu meningkatkan rasa solidaritas serta kesatuan layaknya rekan sejawat.
Selama masa preklinik ini, terdapat banyak rencana yang ada di kepala saya. Saya ingin memaksimalkan segala potensi serta kapasitas dalam segi akademik dan nonakademik. Dalam hal akademik, saya ingin menjadi mahasiswa kedokteran yang berprestasi. Hal tersebut saya lakukan dengan cara belajar sungguh-sungguh serta mulai mengikuti lomba-lomba kedokteran. Berkaitan dengan hal itu juga, saya memiliki keinginan untuk menyelesaikan masa studi dengan tepat waktu, mempertahankan IP dengan baik tiap semesternya, serta menyandang status cumlaude saat wisuda nanti. Selain itu, saya ingin aktif baik dalam memperluas relasi sebanyak mungkin maupun mengikuti organisasi serta kegiatan nonakademik lainnya yang ada di FK UI.
Masa co-ass dan profesi sebetulnya masih jauh untuk dibahas oleh seorang mahasiswa baru seperti saya, tetapi kembali lagi tidak pernah ada kata ‘salah’ dalam bermimpi. Saya berharap segala yang telah saya pelajari di masa preklinik mampu saya interpretasikan dengan baik di masa klinik ini. Dengan belajar langsung dari para dokter senior serta setiap kasus yang saya temukan, saya berharap mampu memetik setiap pelajaran dan pengalaman yang ada. Tahap demi tahap akan saya jalankan dengan sepenuh hati hingga akhirnya mendapatkan gelar dr. di depan nama saya. Setelah mendapatkan gelar sakral tersebut, saya ingin melakukan praktik di beberapa rumah sakit terlebih dahulu sebagai dokter umum guna mencari pengalaman berharga serta melakukan pengabdian pada masyarakat sekitar. Tak sampai disitu saja mimpi saya berhenti, saya ingin melanjutkan ke jenjang PPDS hingga resmi menjadi dokter spesialis anak. Dalam mencapai hal tersebut, dibutuhkan tekad serta keinginan yang kuat dari diri saya sendiri karena sejatinya keinginan tanpa usaha adalah omong kosong belaka.
Di masa yang akan datang, saya berharap dengan ilmu yang saya peroleh, saya mampu memberi pengaruh positif terutama bagi kesehatan anak di Indonesia secara merata. Saya berharap saya mampu menjadi dokter yang sigap menyadarkan masyarakat terkait pentingnya menjaga kesehatan diri. Saya harap masyarakat Indonesia juga selalu mendukung dan menghargai tiap upaya yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, terutama dokter.
Terakhir, untuk adik-adik yang sedang berjuang serta bermimpi masuk ke FK UI, pahamilah terlebih dahulu apa alasan kalian ingin berkecimpung di dunia kedokteran ini. Ketahuilah bahwa seorang dokter tidak sekadar menyandang gelar titel serta kehebatan dalam mengobati pasien, tetapi mereka merupakan insan-insan kuat yang telah ditempa dari proses yang tidak mudah serta tidak sebentar. Namun, jangan pernah takut untuk bermimpi setinggi langit. Ketika kalian sedang merasa kecil, jangan pernah turunkan mimpi kalian, tetapi naikkan usaha kalian. Lakukan segala sesuatu dengan niat yang baik sebab dengan niat yang baik niscaya mendatangkan hasil yang baik. Tidak perlu membanding-bandingkan pencapaian dirimu dengan temanmu. Tanamkanlah dalam diri bahwa setiap orang memiliki jalan dan rezekinya masing-masing.
Ingat! Kamu tidak pernah sendiri. Terdapat teman-teman serta orang tua yang siap sedia mendukung perjalananmu. Selain itu, sebagai insan beriman, sandarkanlah bahumu kepada Tuhan. Dekatkanlah dirimu, lakukanlah banyak hal baik, teruslah meminta doa serta pertolongan-Nya karena pada hakikatnya doa tanpa usaha adalah bohong dan usaha tanpa doa adalah sombong.
Sejatinya realitas merupakan ‘stasiun akhir’ bagi runtutan gerbong mimpi milik kereta sang Pemimpi.
Comments