top of page
Search

Narasi Perjuangan - Tiara Maritza Ermizal

  • Writer: FKUI 2022
    FKUI 2022
  • Aug 14, 2022
  • 8 min read

Sebelum memulai, izinkan saya untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama saya Tiara Maritza Ermizal, orang-orang biasa memanggil saya Tiara. Saya dilahirkan di Jakarta, pada 08 Maret 2005, sebagai anak pertama. Saya merupakan lulusan dari SMAN 1 Karawang. Kini, saya adalah mahasiswi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia program studi Pendidikan Dokter kelas Reguler angkatan 2022 yang diterima lewat jalur SIMAK UI.


Ingatkah kalian dengan pertanyaan, “Mau jadi apa kalau kamu sudah besar nanti?”


Saya, ketika kecil, adalah salah satu dari banyak anak yang akan menjawab, “menjadi dokter.” Kala itu, keinginan tersebut hanya timbul karena dokter adalah profesi yang cukup familiar dan menakjubkan di mata saya. Bukan, Ibu ataupun Ayah saya bukanlah seorang dokter. Kefamiliaritasan itu muncul karena saya kerap kali berobat sewaktu kecil. Rasa takjub tumbuh dengan melihat mereka, sang pahlawan berjas putih, dapat membantu sekitarnya.


Ketika saya mulai beranjak dewasa, mimpi itu tak hilang. Ibu saya pun tak menyangka bahwa saya tetap berkeinginan untuk menjadi dokter. Tak jarang Ibu saya bilang, “Jadi dokter itu perjuangan dan perjalanannya susah, Kak,” untuk benar-benar memastikan keseriusan saya atas pilihan saya. Beliaulah yang mendorong saya untuk tetap bersemangat dalam mengejar mimpi. Ibu saya yang kala itu sedang berkuliah di UI, seringkali mengajak saya untuk ikut ke kampus. Beliau bilang bahwa UI memiliki sekolah kedokteran terbaik di Indonesia. Dari beliaulah saya mengenal FKUI.


Saya mulai mencari tahu segala hal mengenai FKUI. Ternyata, FKUI bukan hanya yang terbaik, melainkan juga merupakan salah satu kombinasi jurusan dan kampus yang sulit untuk didapatkan. Namun, saya ingin sekali untuk belajar di tempat terbaik. Dengan bersekolah di tempat terbaik, saya yakin saya akan tumbuh menjadi dokter yang baik dan dikelilingi oleh para calon dokter yang baik pula. Sejak saat itu, saya bermimpi untuk berkuliah di FKUI.


Saat sekolah menengah pertama (SMP), saya belajar meskipun hanya didasari untuk mendapatkan nilai yang bagus. Saya merupakan siswa yang selalu menempatkan diri di posisi 5 teratas. Saya juga pernah memimpin kelompok penelitian dalam kegiatan sekolah. Di pengujung SMP, saya menghadapi Ujian Nasional (UN) dan syukurnya berbuah manis. Saya menjadi satu dari dua siswa dengan nilai terbaik di sekolah saya dengan nilai 39,1, atau artinya saya hanya memiliki 1 kesalahan di tiap subtes.


Dengan nilai UN yang terbilang baik, saya bertekad untuk melanjutkan sekolah menengah atas saya ke salah satu sekolah terbaik di kota besar. Sebab, orang bilang, mudah untuk diterima ke FKUI jika kamu bersekolah di kota besar. Saya mengikuti seleksi administrasi dengan menyantumkan nilai rapor. Syukurnya, saya lolos di tahap ini. Namun, kesenangan saya tidak bertahan lama. Takdir berkata lain. Saya tidak lolos di tahap selanjutnya dan bisa dibilang: ini adalah kegagalan yang sangat saya sesali kala itu. Mau tidak mau, saya harus bersekolah di tempat saya tinggal, yang mana dikabarkan belum pernah ada alumninya yang lolos ke FKUI. Kalau pun ada yang menentang hal itu, biasanya diakhiri dengan kalimat, “tetapi 20 tahun lalu, sih” atau “saat tahun 90-an”. “Mungkinkah saya diterima di FKUI jika saya hanya seorang murid daerah?” adalah pertanyaan yang menghantui saya sejak itu. Namun, Ibu saya bilang saya harus tetap belajar keras agar saya setara dengan anak-anak di kota besar sana. Bisa dibilang, kisah perjuangan saya di SMA dilandaskan atas hal itu, mengejar (hal yang saya anggap) ketertinggalan.


Di masa sekolah menengah atas (SMA), saya mencoba untuk aktif berkompetisi dan berorganisasi. Menyeimbangkan keduanya bukanlah hal yang mudah, tetapi (saya rasa) harus saya lakukan. Saya berperan sebagai wakil ketua OSIS & ekskul KIR di sekolah. Dengan segala tanggung jawab, saya juga harus belajar mandiri mempersiapkan perlombaan.


Dari pertengahan kelas 11 hingga awal kelas 12, saya sibuk berkompetisi. Jika kebanyakan orang berhenti belajar ketika pembelajaran jarak jauh (PJJ) selesai, saya masih harus belajar selama 2-3 jam di malam hari untuk memperdalam materi lomba. Hal ini saya lakukan karena saya tergolong baru dalam menyelami dunia perlombaan biologi dan kedokteran, di mana pesaing saya biasanya merupakan langganan juara lomba atau sudah mencuri start sejak kelas 10. Harus saya akui bahwa fase belajar untuk mempersiapkan perlombaan merupakan salah satu fase tersibuk sekaligus salah satu fase terseru di masa SMA saya. Sebab, saya harus banyak membaca buku-buku kedokteran juga pedoman bagaimana cara melakukan pemeriksaan fisik. Pengalaman berlomba itu menambah ilmu dan ketertarikan saya kepada biologi, khususnya anatomi & fisiologi manusia. Dengan ketertarikan saintifik ini, saya yakin untuk memilih FK dalam seleksi apapun nanti.


Mendekati Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri atau SNMPTN, saya diumumkan sebagai ranking 1 paralel di sekolah saya. Banyak yang menanyakan apakah saya akan tetap memilih FKUI atau tidak. Jawabannya? Terdengar lucu, tetapi saya tidak memilih FKUI. Pertimbangan khusus yang membuat saya tidak memilih FKUI adalah tidak adanya record alumni dalam 5 tahun yang ke sana, sedangkan dari beberapa sumber, SNMPTN melihat histori alumni dan prestasi mereka ketika akhirnya berkuliah di sebuah kampus. Akhirnya, saya mendaftar ke sebuah kampus di provinsi saya yang dulu pernah meloloskan alumni dari sekolah saya. Namun, dengan sertifikat pun, saya gagal dalam SNMPTN. Agak sedih memang untuk gagal, tetapi saya berpikir mungkin itu adalah salah satu cara Tuhan untuk mengantarkan saya kepada tempat yang lebih baik, mungkin juga kepada mimpi saya, FKUI.


Jalur untuk diterima di FKUI ada banyak dan sedikit dari banyak ialah Talent Scouting dan seleksi prestasi. Sekolah saya memiliki kuota untuk mendaftar lewat jalur Talent Scouting. Namun, sejauh yang telah umumnya diketahui banyak orang di sekolah, belum pernah ada alumni sekolah saya yang lolos ke FKUI, termasuk lewat jalur tersebut. Saya menyusun esai dan mempersiapkan diri untuk tes bahasa Inggris. Untuk seleksi prestasi, saya memasukkan sertifikat lomba kedokteran karena kebetulan pada jalur prestasi, prestasi yang di-input ialah prestasi yang relevan dengan jurusan. Dan, saya gagal lagi di keduanya. Sejujurnya, saya sudah memprediksi ketidaklolosan saya, seharusnya saya tidak terlalu sedih, bukan? Namun, tetap saja, sedih rasanya pertama kali ditolak oleh kampus dan jurusan yang saya inginkan sejak dulu. Saya jadi berpikir, apakah FKUI memang bukan jalan saya?


Saya kemudian mempersiapkan diri untuk Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri atau SBMPTN. Selain mengikuti bimbingan belajar untuk pertama kalinya, saya juga belajar sekitar 5-6 jam per harinya. Puluhan paket tryout dan ribuan soal saya hadapi. Saya teringat akan ucapan saya saat kelas 10, yakni saya tidak akan berharap besar dengan SNMPTN tetapi saya dengan pasti akan memperjuangkan FKUI di SBMPTN. Namun, lagi-lagi saya tidak memilih FKUI atas pertimbangan Ayah saya. Beliau bilang ia pernah seperti saya, sangat menginginkan satu kampus dan jurusan, tetapi ia akhirnya gagal. Ia tak ingin saya gagal lagi di kesempatan baru ini. Kalau ditanya, banyak tangis dari merelakan FKUI di SBMPTN. Pada akhirnya, saya berpegang teguh bahwa restu orang tua dan takdir juga menentukan jalan akhir saya, bukan hanya pada usaha belajar saya. Saya tetap berusaha semaksimal mungkin walaupun itu bukan untuk FKUI. Toh, jikalau saya gagal di SBMPTN, nilai UTBK banyak berguna untuk seleksi mandiri, termasuk Seleksi Masuk Universitas Indonesia (SIMAK UI).


2 bulan mempersiapkan untuk UTBK, hari tes pun tiba. Saya mengikuti tes pada gelombang 2 tanggal 31 Mei di pusat UTBK terdekat di rumah saya, Universitas Singaperbangsa Karawang. Tes berjalan lancar, hanya saja saya justru kesulitan pada subtes yang biasanya saya kerjakan dengan lancar, yakni PK. Kalau Fisika, tolong jangan tanyakan saya bagaimana soalnya, membaca soal sampai akhir pun sepertinya tidak. Dengan mengefisiensikan waktu, saya berhasil untuk mengisi semua soal (walau ada sesi tembak-menembak di subtes Fisika dan Matematika).


Dengan rata-rata nilai UTBK sejumlah 707, saya akhirnya lolos SBMPTN. Saya jelas sangat senang bahwa saya akhirnya bisa lolos di sebuah kampus di jurusan kedokteran, but still, it’s bittersweet. Saya teringat kembali akan rencana yang telah saya buat dahulu. Rencana apa yang akan saya lakukan, organisasi apa yang akan saya ikuti, dan rencana-rencana lainnya jika saya diterima di FKUI. Stiker-stiker penyemangat bertulis “Are you the next yellow jacket?” tidak saya lepaskan, masih lengket tertempel di meja dan file folder saya. Sebenarnya, setelah SBMPTN, masih ada SIMAK. Namun, waktu itu, saya tidak terpikir untuk mengikuti SIMAK. Soal SIMAK digadang-gadang memiliki soal seleksi tersulit, bahkan melebihi UTBK. Bukan saya takut, tetapi kalau boleh jujur, mempersiapkan UTBK sudah cukup menghabiskan energi saya selama 2 bulan terakhir, saya mungkin tidak sempat untuk kembali belajar dan me-review soal-soal SIMAK. Keketatan SIMAK untuk FKUI juga selalu meningkat dengan persentase sekitar satu persen di tiap tahunnya, di mana saya akan memperebutkan 1 kursi dengan 100 orang lainnya — yang saya yakin pula merupakan siswa-siswi terbaik di sekolahnya. Talent Scouting saja saya tidak lolos, bagaimana SIMAK? Namun, Ibu saya tetap membujuk saya untuk mengikuti SIMAK. “Nggak usah belajar lagi, yang ada di otak aja, lolos atau nggak juga kita sudah aman,” katanya. Mendengar hal itu, aku pun mengikuti seleksi mandiri SIMAK sebagai seleksi PTN terakhir saya (padahal selama 2 minggu sebelum SIMAK, saya sudah benar-benar tidak memegang buku).


Saya mengerjakan tes SIMAK ketika saya sedang mengurus keperluan daftar ulang di kampus yang menerima saya SBMPTN lalu. Entah efek rehat belajar atau bukan, saya mengerjakan soal SIMAK dengan cukup lancar. Saya dapat mengerjakan subtes Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Biologi secara lengkap. Saya mengisi 10 soal di subtes Matematika Dasar, 9 soal Kimia, 8 soal Matematika IPA, dan 5 soal Fisika dari 15 soal pada masing-masing subtes. Karena sistem minus yang diterapkan dalam SIMAK, saya hanya menjawab soal yang saya yakin sekali benar.


Di hari pengumuman SIMAK, tanggal 14 Juli, saya tidak merasa khawatir berlebih terhadap hasilnya, hal yang tidak saya rasakan dalam pengumuman-pengumuman sebelumnya. Jadwal pengumuman di hari itu ialah jam 15.00 sore dan saya, terduduk sendiri, sudah siap di depan laptop membuka laman pengumuman. Siapa sangka, saya lolos ke FKUI lewat jalur SIMAK, jalur terketat untuk lolos ke FKUI! Kalau boleh jujur, it was sort of like a lie. Saya berusaha me-refresh laman untuk memastikan itu tidak sedang error atau rusak. But, no, I really made it. Saya langsung menghubungi Ibu dan Ayah saya yang sedang tidak berada di rumah. Ah, betapa campur aduknya saya di hari itu — ketidakpercayaan, kesenangan, juga sedikit kesedihan melepas teman-teman saya di kampus sebelumnya.


Lolos dan masuk ke FKUI bukan berarti saya telah menjadi pribadi yang paling baik di antara yang lain. Ada banyak sekali hal yang harus saya perbaiki terlebih untuk mengusung kelancaran saya dalam berkuliah. Saya berkomitmen saya harus menjadi pribadi yang lebih mandiri, berani dan tidak takut, tidak pantang menyerah, dan dapat memberikan lebih banyak manfaat untuk sekitar saya.

Dengan diterimanya saya di FKUI, saya berharap saya dan teman-teman saya dapat berkembang, belajar, dan berbagi bersama di fakultas ini. Saya harap kami dapat menjadi dokter masa depan yang bisa memberikan kontribusi dan inovasi yang dapat memajukan kesehatan masyarakat baik di negara kita, Indonesia, maupun di skala internasional. Saya berharap saya dan teman-teman angkatan 2022 dapat terus bersatu dan menjadi tempat bercerita, meminta bantuan, dan bekerja sama terbaik untuk kebaikan masing-masing dari kami.


Di masa preklinik yang sebentar lagi saya hadapi, saya berkomitmen untuk belajar dan berkembang sebaik-baiknya dengan mengutamakan perkembangan akademik juga kepribadian saya. Saya akan berusaha untuk menjaga nilai dan mengikuti banyak kegiatan di luar kuliah untuk menambah ilmu & pengetahuan saya. Untuk masa klinik/dokter yang akan saya hadapi kurang lebih 3,5 tahun lagi, saya berkomitmen untuk terus berpegang kepada tujuan saya, yakni mengembangkan dan bermanfaat untuk kesehatan masyarakat di Indonesia. Saya berencana untuk menjadi seorang praktisi juga akademisi. Dengan itu, saya harap dapat saya bisa memajukan dua aspek, yakni pelayanan juga inovasi kesehatan manusia.


Dengan banyaknya lulusan dokter muda di antara komunitas masyarakat Indonesia (yang umumnya berada di usia produktif pula), saya berharap masyarakat dapat lebih menumbuhkan kepercayaannya kepada ilmu dan tenaga kesehatan. Kepercayaan masyarakat kepada ilmu kesehatan dapat mengurangi pengaruh buruk dari mempercayai mentah-mentah praktik penyembuhan yang mungkin membahayakan mereka. Hal ini akan lengkap dengan adanya kepercayaan masyarakat kepada tenaga kesehatan, yang akan menciptakan kenyamanan juga menghilangkan keraguan dan ketakutan untuk langsung meminta pertolongan ketika mereka membutuhkan. Menurut saya, kepercayaan atas ilmu dan tenaga kesehatan merupakan langkah yang tidak hanya mudah, tetapi juga berdampak untuk sama-sama meningkatkan kesehatan di Indonesia.


Banyak hal yang saya pelajari selama saya memperjuangkan FKUI. Yang pertama, hasil tidak mengkhianati usaha. Usaha yang dimaksud bukan hanya secara akademik, tetapi juga usaha kita meminta kepada Tuhan. Kedua, Tuhan memberikan dan mengambil rezeki kita lewat hal yang tidak kita duga. Ketika kamu gagal, think of it as a way to find a better choice. Dan ketiga, tetaplah percaya. Percaya kamu bisa bahkan ketika orang lain berkata tidak. Percaya kamu bisa mendapatkan sesuatu dengan caramu. Percaya kamu bisa menggapai mimpimu.

Ah, ya, mungkin nanti akan ada beberapa orang yang membaca narasi ini. Saya ingin membagikan pemikiran dan pandangan saya setelah akhirnya saya diterima di FKUI. Pertanyaan saya sebelumnya, “Mungkinkah saya diterima di FKUI jika saya hanya seorang murid daerah?”, kini sudah saya jawab sendiri. Pemikiran saya yang dulu (bahwa murid di kota besar lebih mudah lolos) tidak sepenuhnya benar. Pada intinya, semua kembali kepada usaha & kemauan kita. Saya ingin ada lebih banyak orang yang juga mampu menjawab pertanyaannya sendiri lewat pembuktiannya masing-masing.


Di akhir narasi, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu, Ayah, keluarga, guru-guru, dan teman-teman saya yang telah menemani perjuangan saya selama ini. Semoga saya dapat membalas semua kebaikan yang telah diberikan kepada saya. Aamiin.


 
 
 

Recent Posts

See All

Comments


Find Us On!

  • Instagram
  • Twitter
  • Youtube

© 2022 FKUI Brilian

bottom of page