Narasi Perjuangan - Qatrunada Maura Dakota
- FKUI 2022
- Aug 14, 2022
- 11 min read
Terbentur dan Terbentuk Demi Mimpi Mulia
“Waktumu terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjalani hidup orang lain. Jangan terjebak oleh dogma – yaitu hidup dengan hasil pemikiran orang lain.” Kalimat mutiara yang saya kutip dari salah satu tokoh fenomenal milik dunia, Steve Jobs. Kalimat ini selalu saya jadikan sebagai acuan dalam menggapai segala ambisi hidup yang saya rangkai dengan penuh harapan. Sebagai seorang overthinker, pikiran orang lain selalu jadi musuh bebuyutanku. Seringkali impianku tak kuraih karena takut akan omongan orang lain. Takut jika gagal ditertawakan orang lain. Namun, kutipan ini merubah segalanya dan membuat saya sadar kalau waktu di dunia ini terlalu pendek untuk mendengarkan pikiran orang lain. Jika kamu selalu memikirkan opini orang lain, apakah hidup ini benar-benar milikmu?
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera bagi kita semua, Shalom, Om swastyastu, Namo Buddhaya, dan Salam Kebajikan. Halo semua! Perkenalkan nama saya Qatrunada Maura Dakota dan kerap disapa dengan nama kecil saya, Aru. Saya berasal dari SMA Negeri 8 Jakarta. Sekolah negeri yang terletak di kelurahan kecil di area Tebet, yaitu Bukit Duri. Saya merupakan mahasiswa baru dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia program reguler. Kalian pasti sering mendengar pepatah “Banyak jalan menuju Roma” yang berarti banyak jalan atau cara dalam mencapai suatu tujuan yang sama. Begitupun dengan menggapai kursi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Dari sekian banyak jalur yang diberikan oleh Universitas Indonesia, alhamdulillah saya akhirnya diberi kesempatan untuk menimba ilmu di kampus kuning ini melalui jalur paling akhir, yaitu ujian SIMAK.
“Tempat berkumpulnya para pelajar terpilih dari Sabang sampai Merauke.” Kalimat ini yang selalu terngiang di kepala saya sejak masih menduduki bangku Sekolah Dasar ketika mendengar nama Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sekolah Kedokteran tertua di Indonesia ini memang tidak main-main dalam merekrut mahasiswanya. Mereka hanya membuka tangan yang lebar bagi pelajar terbaik dari yang terbaik. Pelajar yang memiliki nilai rapor, UTBK, dan ujian SIMAK tertinggi dari yang tertinggi. Ribuan tangisan yang pecah akibat penolakan dari FKUI setiap tahunnya merupakan hal yang sangat biasa. Berbagai pandangan hebat terhadap sekolah kedokteran ini dari orang-orang yang menjadikan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sebagai mimpi utama mereka. Kalau saya sendiri, menganggap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sebagai pemegang kendali utama roda penggerak regenerasi insan-insan yang nantinya akan mengabdi kepada Negara dalam bidang kesehatan. Pandangan saya ini sudah dapat dibuktikan dari tokoh alumni berbagai angkatan sekolah ini yang sudah menjadi orang-orang hebat dan ternama. Bukan sekedar “hebat dan ternama”, namun juga sudah memberikan dampak yang signifikan terhadap kemajuan kesehatan Bangsa. Bahkan para mahasiswa yang masih menimba ilmu di sekolah ini pun sudah banyak sekali yang mencetak prestasi luar biasa baik dalam tingkat nasional maupun internasional.
Pandangan tersebut yang memotivasi saya dalam menjadikan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sebagai wadah pembelajaran utama bagi saya untuk menuntut pendidikan kedokteran. Awal kisah saya dalam menemukan ketertarikan di dunia medis, khususnya kedokteran mungkin terdengar sedikit klise. Dulu, saat saya masih sekitar 6 tahun, saya sering sekali menemani kakak saya ke rumah sakit karena dia kerap mengalami demam dan juga alergi. Setiap kali kami duduk di bangku untuk menunggu giliran dokter, saya selalu terpukau saat melihat sosok-sosok berseragam baju operasi dan juga jas putih dengan stetoskop yang berjalan kian kemari dengan raut wajah sibuk. Kata yang muncul di benak saya waktu itu adalah “Wah keren sekali, aku ingin menjadi seperti mereka.” Kalimat ini akhirnya membekas di kepala saya dan terbawa sampai akhir perjalanan saya di SMA. Setiap diberi pertanyaan oleh guru “Kalau besar ingin jadi apa?” Saya selalu menjawab kalau saya ingin menjadi dokter, dan jika ditanya mengapa pasti jawaban andalan saya adalah karena ingin membantu menyembuhkan orang yang sakit. Jawaban itu merupakan jawaban andalan hampir semua anak kecil ketika ditanya mengapa ingin menjadi dokter. Seiring waktu, cita-cita ini menjadi semakin kuat dan tentunya sangat didukung oleh kedua orang tua saya. Mereka selalu berkata, “Nanti kalau sudah besar kuliah kedokterannya di FKUI ya.” Saya pun mengangguk dengan penuh semangat. Bagaimana tidak? Siapa sih yang tidak ingin untuk menimba ilmu di sekolah kedokteran tertua dan tentunya memiliki kredibilitas yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Sejak itu saya ingin sekali untuk menjadi bagian dari Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Saya ingin menjadi salah satu dari insan-insan didikan FKUI yang nantinya akan menjadi calon pengabdi Bangsa yang memajukan kualitas kesehatan Indonesia.
Dalam menempuh berbagai perjalanan pendidikan akademik, Ibu saya selalu menekankan kepada saya untuk selalu memberikan hasil yang maksimal, terutama setelah mengetahui bahwa impian saya adalah untuk menjadi seorang dokter. Walaupun begitu, Ibu saya bukanlah orang tua yang mengekang anaknya untuk selalu belajar. Beliau tetap mengingatkan saya untuk bersosialisasi dengan baik dan tidak lupa juga meluangkan waktu untuk bermain bersama teman. Perjalanan dalam meraih cita-cita ini akan saya narasikan dimulai dari saat saya menduduki bangku Sekolah Dasar. Saya menempuh Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Pertama di tempat yang sama, yaitu Al-Azhar Bumi Serpong Damai yang terletak di Tangerang Selatan. Seperti yang sudah saya katakan di awal paragraf, saya selalu berusaha untuk memberikan hasil yang maksimal dalam proses studi saya. Alhasil, saya dapat meraih peringkat tiga besar berturut-turut dari kelas satu sampai kelas tiga. Melihat pencapaian ini, beberapa guru dan juga wakil kepala sekolah bidang kurikulum menawarkan dan merekomendasikan saya untuk mengikuti program kelas akselerasi kepada orang tua saya. Kelas akselerasi merupakan kelas khusus untuk siswa-siswi “pilihan” yang dimana program pembelajarannya akan dipercepat dari segi waktu dan juga kurikulumnya. Saat mendengar tawaran tersebut, tentunya saya dan orang tua lantas tertarik dan berkeinginan untuk mengikuti program tersebut. Dengan menyelesaikan Sekolah Dasar hanya dalam lima tahun tentunya bukan hal yang mudah. Tempo pembelajarannya sangat cepat. Ketika kelas lain masih mempelajari suatu bab di pertemuan yang kedua, kelas saya sudah melaksanakan ujian. Saat yang lain sedang UAS (Ujian Akhir Semester), kelas saya sudah melaksanakan UKK (Ujian Kenaikan Kelas). Saat berada di penghujung Sekolah Dasar, yaitu kelas enam, semua fokus siswa tertuju pada UN (Ujian Nasional). Namun, jujur saja pada waktu itu saya tidak terlalu serius dalam menghadapi ujian tersebut dikarenakan orientasi saya dan orang tua pada saat itu masih ke institusi pendidikan yang berbasis swasta. Waktu itu, kami tidak ada keinginan untuk melanjutkan Sekolah Menengah Pertama di Negeri.
Setelah Ujian Nasional selesai, hasil yang saya dapatkan tidak terlalu maksimal, karena seperti yang sudah saya katakan bahwa saat itu saya dan orang tua masih belum berpaling untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah negeri. Akhirnya, sesuai rencana awal, saya melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama saya di SMP Islam Al-Azhar Bumi Serpong Damai. Sekolah yang sudah saya pijak sejak masih Taman Kanak-kanak. Selama SMP, saya tidak mendapatkan pencapaian peringkat kelas yang maksimal. Berbeda dengan waktu Sekolah Dasar yang dimana saya selalu mendapatkan tiga besar ataupun lima besar. Namun hal tersebut tidak terlalu menjadi kekhawatiran saya. Hal yang terpenting adalah saya sudah berusaha semaksimal mungkin. Pada waktu Sekolah Menengah Pertama, pada titik waktu tertentu, mulai muncul kebimbangan mengenai cita-cita saya. Bukan karena saya merasa tidak mampu, namun karena dunia sosial humaniora terlihat lebih menarik dibanding Ilmu Pengetahuan Alam bagi saya waktu itu. Bahkan, sempat terbersit di benak saya, “Hmm sepertinya mengambil jurusan Hubungan Internasional dan menjadi diplomat seru juga.” Setelah beberapa waktu, sekolah saya membuka seleksi perwakilan Olimpiade Sains Nasional. Saya pun tertarik untuk mencobanya. Namun, bukan di bidang Ilmu Pengetahuan Alam, melainkan di bidang Ilmu Pengetahuan Sosial. Tanpa bekal apapun, saya memberanikan diri untuk mengikuti tes seleksi dan alhamdulillah saya menjadi salah satu dari enam siswa yang terpilih untuk mengikuti pelatihan yang nantinya akan dikerucutkan menjadi tiga siswa yang akan mewakili sekolah untuk mengikuti Olimpiade Sains Nasional 2017 Tingkat Kabupaten/Kota. Hari demi hari saya lewati dan akhirnya diadakanlah tes seleksi lagi untuk pemilihan 3 siswa yang akan menjadi perwakilan sekolah. Alhamdulillah akhirnya saya terpilih menjadi siswa yang mewakili sekolah saya untuk mengikuti OSN IPS Tingkat Kabupaten/Kota. Namun, sayangnya saya belum dapat melanjutkan perjalanan saya ke tingkat provinsi. Tahun berikutnya, diadakan lagi proses perekrutan yang sama dan saya pun mengikutinya kembali. Sama seperti tahun sebelumnya, alhamdulillah saya terpilih lagi untuk menjadi perwakilan sekolah dalam OSN IPS 2018 Tingkat Kabupaten/Kota. Tetapi, nasib saya masih sama seperti tahun sebelumnya. Saya masih tidak dapat mewakili sekolah saya ke tingkat Provinsi. Tapi tidak apa-apa, karena saya anggap semua itu merupakan pembelajaran dan pengalaman yang sangat berharga bagi saya. Ilmu-ilmu yang saya serap dalam proses pelatihannya pun juga saya anggap sebagai “bonus” dan tidak akan menjadi hal yang sia-sia. Tahun pun berganti dan tak terasa saya sudah di penghujung Sekolah Menengah Pertama. Sama seperti saat Sekolah Dasar, semua siswa dan siswi fokus untuk mempersiapkan UN (Ujian Nasional). Untuk yang kali ini, berbeda dengan waktu saya masih di bangku Sekolah Dasar. Kali ini, pergantian jenjang pendidikan yang akan saya alami sudah jauh lebih serius. Hasil dari Ujian Nasional ini akan menentukan nasib dimana akan saya melanjutkan Sekolah Menengah Atas, dan dimana tempat Sekolah Menengah Atas saya akan menjadi salah satu penentu masa depan saya yang utama, yaitu menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Setelah berdiskusi dengan orang tua dan juga rekomendasi dari teman-teman, mereka mengenalkan saya dengan SMA Negeri 8 Jakarta. Pada awalnya saya tidak mengenal sekolah itu. Saya hanya mendengar dari perkataan teman saya kalau itu merupakan SMA negeri terbaik di Indonesia. Setelah melakukan riset singkat terhadap SMA Negeri 8 Jakarta, akhirnya saya mengunci tujuan akhir saya untuk melanjutkan studi SMA di sana. Dalam waktu yang singkat, bimbingan belajar yang bukan “top 5”, tekad yang kuat dan juga tentunya sokongan dari berbagai pihak, saya memberanikan diri untuk menghadapi Ujian Nasional dan menjadikan SMA Negeri 8 Jakarta sebagai tujuan nomor satu saya. Akhirnya, wisuda pun tiba dan di hari yang sama kami akan diberikan hasil nilai Ujian Nasional. Alhamdulillah saya mendapatkan hasil yang sangat maksimal dan juga meraih peringkat empat untuk kategori nilai Ujian Nasional tertinggi di angkatan saya. Proses PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) pun mulai dan saya mulai sedikit pesimis ketika mendengar ketentuan zonasi dan juga usia. Saya khawatir akan tersingkir dari peringkat penerimaan dikarenakan usia saya yang cukup muda di angkatan saya waktu itu. Namun alhamdulillah, Allah mengizinkan saya untuk menjadi salah satu dari ratusan siswa dan siswi yang terpilih untuk mengemban ilmu di SMA Negeri 8 Jakarta.
Tidak saya sangka, waktu berjalan dengan sangat cepat. Akhirnya saya dapat mengenakan seragam putih dan abu. Transisi saya dari SMP ke jenjang SMA, khususnya SMA Negeri 8 jakarta dipenuhi dengan berbagai “culture shock’. Ternyata yang saya dengar selama ini benar, SMA Negeri 8 Jakarta memang “gila” dalam proses pembelajarannya. Saya masih teringat, saat pertama kali diadakan ujian harian mata pelajaran fisika di kelas sepuluh, semua siswa mendapatkan nilai dengan angka yang sama dengan nomor sepatu. Namun, lambat laun saya dan teman-teman dapat menyesuaikan diri dengan tempo sekolah ini. Sejak kelas sepuluh, saya sudah mendengar banyak teman yang mulai “mencuri start” untuk SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi), namun saya menyadarkan diri saya untuk realistis. Saya sadar bahwa posisi saya di sekolah ini sudah bukan seperti dulu lagi. Semua siswa dan siswi yang mengemban ilmu di sekolah ini merupakan siswa-siswi “terbaik” di SD dan SMPnya dahulu. Akhirnya saya membulatkan tekad untuk lebih fokus ke jalur yang lain, yaitu SBMPTN dan juga jalur mandiri. Saat menduduki bangku SMA, saya merasa lebih “santai” dibanding dengan saya yang dulu di SMP dan juga SD. Bahkan saat kelas sebelas, saya lebih berfokus ke organisasi ekstrakurikuler yang saat itu saya kepalai. Nilai saya sempat menurun dan perasaan pesimis dalam meraih FKUI pun muncul. Akhirnya masa demisioner atau berakhirnya masa jabatan organisasi pun tiba dan saya bisa lebih bernapas lega dan fokus dengan tujuan utama saya, yaitu menjadi siswa FKUI. Saya pun mulai mendaftarkan diri saya ke salah satu bimbingan belajar yang memiliki reputasi baik dalam membimbing siswanya ke FKUI. Buku demi buku saya pelajari, soal demi soal saya kerjakan, dan saya pun juga mulai membaca strategi dalam mengerjakan Ujian Tulis Berbasis Komputer nantinya. Bulan demi bulan sudah dilalui, dan akhirnya hari tes UTBK pun tiba. Perasaan takut dan bahagia pun bercampur aduk ketika berbaris di depan pintu ujian. Akhirnya pengerjaan soal dimulai dan pada beberapa sub bab tidak sedikit soal yang saya tidak tahu bagaimana cara menyelesaikannya. Saya cepatkan sedikit, hari pengumuman pun tiba. Ada perasaan optimis namun di sisi lain saya juga takut. Akhirnya ketika jam sudah menunjukkan pukul 15.00, saya membuka portal LTMPT dan mengisikan data saya. Raut senyum yang awalnya terukir di wajah pun hilang seketika. Sedikit tetesan air mata keluar karena mendapatkan kata “semangat” dari LTMPT. Setelah itu, saya sempat down sebesar-besarnya. Rasanya pedih dan juga malu sekali melihat teman-teman yang sudah mendapatkan kampus impiannya, sedangkan saya harus kembali belajar dan mengikuti tes lagi. Namun, saya segera menyadarkan diri untuk fokus pada tujuan utama, yaitu FKUI. Dibantu dengan bimbingan belajar, saya mempersiapkan berbagai soal dari tahun lalu untuk ujian SIMAK. Dengan waktu yang singkat saya menelaah soal demi soal dan akhirnya waktu ujian pun tiba. Ketika matematika dasar muncul, saya sempat kembali down dan sangat pesimis dikarenakan soalnya yang sangat sulit. Namun, alhamdulillah sub bab lainnya saya tidak terlalu merasakan kendala, walaupun soal-soal yang saya kerjakan juga tidak sama sekali mudah. Setelah menunggu beberapa hari, akhirnya pengumuman pun tiba. Saya sudah menyiapkan mental yang kuat jika hasil yang saya dapat tidak sesuai dengan keinginan. Akhirnya, setelah saya memberanikan diri untuk membuka hasil pengumuman, alhamdulillah akhirnya saya diterima oleh kampus dan fakultas impian saya, yaitu Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan bagi saya untuk menjadi bagian dari keluarga besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tentunya perjalanan saya masih sangat panjang dan tentunya berat untuk dilalui. Perlu adanya transformasi diri jika saya ingin bisa bertahan dalam lingkungan yang sangat menantang ini. Saya berkomitmen untuk menjadi pribadi yang lebih disiplin dan juga bertanggung jawab. Dua hal tersebut saya rasa merupakan kunci kesuksesan agar dapat melalui segala rintangan yang ada di FKUI. Saya merasa bahwa diri saya ini merupakan seorang procrastinator, yang dimana saya selalu menunda-nunda pekerjaan yang ada walaupun tugas menumpuk. Saya harap, setelah menjadi mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, saya bisa menjadi pribadi yang terorganisir dan juga tidak menunda-nunda pekerjaan yang ada.
Saya berharap dapat menjadi mahasiswi yang aktif dalam akademik maupun non-akademik. Mahasiswi yang dapat menyelesaikan pembelajarannya dengan tepat waktu dan memuaskan. Tak lupa juga mahasiswi yang dapat mengukir prestasi baik dalam kancah kampus, nasional, mapun internasional. Saya juga berharap agar angkatan FKUI 2022 dapat menjadi satu keluarga yang erat dan menciptakan lingkungan kompetitif yang sehat dengan tidak menjatuhkan satu sama lain. Semoga angkatan FKUI 2022 dapat menjadi angkatan yang “brilian” dalam berbagai aspek, sesuai dengan nama yang kami rangkai bersama-sama.
Dengan segala harapan dan komitmen yang sudah saya tulis, tentunya saya memiliki rencana baik jarak pendek maupun panjang agar proses studi saya di kampus ini dapat berjalan dengan arah yang sesuai. Selama masa preklinik, khususnya semester pertama dan kedua, saya berencana untuk fokus mengembangkan soft skills dan juga hard skills yang akan saya dapatkan melalui proses pembelajaran dan organisasi yang nantinya akan saya ikuti. Pada semester berikutnya saya ingin untuk lebih memfokuskan diri saya untuk mengikuti berbagai kompetisi medis yang ada. Selanjutnya, untuk topik yang paling penting adalah kelulusan. Saya berencana untuk dapat menyelesaikan studi saya, termasuk penulisan skripsi dengan tepat waktu, dan juga mendapatkan hasil IPK semaksimal mungkin. Saya harap semua rencana ini dapat saya penuhi dengan baik, tentunya dengan komitmen yang sudah saya tulis sebelumnya.
Untuk rencana jangka panjang, setelah lulus dari almamater ini dan menyandang gelar “S.Ked”, saya akan menjalani tahap klinik atau sebagai koasisten yang terampil dan dapat melewati seluruh stase dengan baik. Saya juga akan mengikuti dan menyelesaikan UKMPPD (Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Kedokteran) dengan nilai terbaik tanpa perlu pengulangan ujian. Semua ini tentunya akan dapat saya capai dengan memanfaatkan setiap kesempatan untuk belajar dan belajar. Saat nanti menjadi dokter umum maupun spesialis, saya akan menjadi dokter yang profesional dan juga selalu memperlakukan pasien dengan penuh hormat. Dokter yang mengayomi dan tentunya selalu mengabdi kepada masyarakat dan Bangsa dengan meningkatkan kualitas kesehatan Indonesia. Karena seperti yang kita tahu, Indonesia sedang dalam kondisi darurat terhadap peningkatan kasus PTM (Penyakit Tidak Menular), khususnya PTM katastropik. Ada empat PTM katastropik yang menjadi concern utama saat ini, yakni jantung, stroke, kanker, dan juga gagal ginjal. Untuk menyelesaikan permasalahan ini tentunya sangat sulit dan perlu waktu yang bertahap. Saya memiliki rencana untuk mengambil spesialis yang berkaitan dengan salah satu dari empat penyakit ini agar saya dapat berpartisipasi secara langsung untuk menemukan tindakan preventif dan juga represif yang paling tepat agar dapat menurunkan angka kejadian PTM.
Tidak terasa sudah berada di penghujung narasi yang saya rangkai ini. Bagi adik-adikku yang membaca ini, saya mohon untuk selalu berjuang demi mimpi kalian. Sekeras dan sebanyak apapun rintangan yang ada, saya yakin jika kalian berusaha dan tentunya diizinkan oleh Tuhan, semua bisa terjadi. Jika gagal, jangan patah semangat dan terus berlari sekencang-kencangnya. Ada salah satu kutipan dari Tan Malaka yang sangat saya sukai, yaitu “Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk.” Tidak ada mimpi yang mudah untuk diraih dalam hidup ini. Jika mimpimu mudah, maka saya rasa mimpimu kurang tinggi. Sekian dari saya, terima kasih sudah membaca dan jangan lupa untuk selalu jaga kesehatan!
Comments