top of page

Narasi Perjuangan - Naufal Taufiqulhakim

  • Writer: FKUI 2022
    FKUI 2022
  • Aug 14, 2022
  • 9 min read

Menjadi salah satu bagian dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) bukan hanya merupakan suatu hasil, melainkan juga suatu proses teramat pelik yang telah membantu saya mempelajari berbagai hal berharga tentang kehidupan. Hal itu telah menjadi sebuah batu loncatan besar bagi diri saya dalam menapaki lembar-lembar awal kehidupan. Perjalanan yang dipenuhi oleh bermacam rintangan dan kejutan ini merupakan kumpulan pengalaman unik yang pastinya tidak akan terulang kembali dan patut untuk diingat. Untuk itu, cerita perjuangan meraih makara hijau ini pantaslah untuk saya kisahkan.

Saya Naufal Taufiqulhakim. Sejak saya kecil hingga sekarang ini, saya telah dikenal dalam berbagai panggilan: Naufal, Nopal, Taufik, Nata, atau Palte. Namun, untuk kemudahan, Naufal saja tidak apa-apa. Saya memulai lembar pendidikan di tingkat TK A di TK Asuhan Bunda, dilanjut TK B di TKIT Asy-Syukriyyah mengikuti perpindahan rumah dari Kecamatan Karang Tengah ke Kecamatan Batuceper, walau masih sama-sama di kota Tangerang. Mulai dari situlah saya memulai ‘pengabdian’ saya selama sepuluh tahun di Yayasan Islam Asy-Syukriyyah Tangerang, dimulai dari TKIT, SDIT, hingga SMPIT-nya. Menuju kelulusan SMP, saya merasa perlu untuk mencoba suatu pengalaman baru hingga akhirnya saya berhasil masuk MAN Insan Cendekia Serpong. Dari situlah saya memulai perjuangan saya dalam meraih FKUI.

Saya masuk FKUI melalui jalur seleksi mandiri SIMAK UI kelas Reguler. Pada awalnya, saya tidak memiliki banyak pengetahuan mengenai apa dan bagaimana FKUI itu sendiri. Saya hanya berpandangan bahwa FKUI adalah yang paling didambakan banyak orang, di samping saya tahu bahwa FKUI merupakan sekolah kedokteran tertua dan terbaik di Indonesia yang menorehkan berbagai kebanggaan bagi bangsa. Hal ini pastinya menempatkan FKUI di posisi yang sangat tinggi. Hingga menjelang proses masuk perguruan tinggi pun saya masih menganggap bahwa masuk FKUI merupakan sebuah mimpi yang terlalu tinggi untuk saya gapai.

Walaupun begitu, saya tahu bahwa saya bisa dan saya memiliki kemampuan untuk itu. Saya berpikir mengapa saya tidak mencobanya saja. Toh menjadi seorang dokter merupakan pengabdian yang sangat mulia, ditambah saya memang senang membantu orang dalam menyelesaikan berbagai permasalahan mereka. Orang tua saya pun menasihati bahwa kita tidak akan pernah kekurangan jika sering memberi (menolong orang lain), bahwa kita tidak tahu di mana rezeki kita berada, dan bahwa setiap jalan yang telah ditentukan Allah SWT sebagai sebaik-baik Perencana merupakan sebaik-baik ketetapan. Itulah yang memotivasi saya untuk mencoba bergabung menjadi bagian dari FKUI, di mana perjuangan untuk itu tentunya merupakan perjalanan yang panjang dan tidak mudah.

Cerita perjuangan saya dapat saya kisahkan mulai saya duduk di bangku SD. Walaupun akhirnya saya lulus di FKUI, jika ditanya cita-cita saya ingin menjadi apa, saat SD saya akan menjawab bahwa saya ingin menjadi seorang arsitek. Saya bahkan pernah mengatakan bahwa saya akan membangun sebuah apartemen yang mana lantai teratasnya akan saya persembahkan untuk orang tua saya. Namun, saya tidak terlalu memikirkan secara serius mengenai cita-cita pada saat itu. Saya lebih terfokus untuk berusaha memaksimalkan diri saya terlebih dahulu dengan meningkatkan kemampuan akademis saya, baik di kelas maupun dalam perlombaan.

Memasuki masa SMP, saya terus mendorong batasan atas apa yang saya fokuskan sejak SD. Saya beranikan diri untuk mengikuti lebih banyak perlombaan, termasuk OSN IPA. Untuk itu, pastinya saya belajar lebih banyak materi daripada yang saya dapatkan di kelas. Saya pun mulai mengefisienkan pembelajaran saya. Meski saya hanya mampu mencapai OSN tingkat Provinsi Banten, saya jadikan itu sebuah motivasi dan penyemangat untuk mencoba lebih. Selama SMP ini, hal yang berbeda adalah saya mulai menyeriusi cita-cita saya dan langkah saya untuk ke depannya. Saya juga mulai tertarik pada kegiatan nonakademis seperti OSIS, walaupun pada akhirnya saya tidak bergabung ke dalamnya karena saya ingin fokus pada perlombaan akademis terlebih dahulu.

Seperti yang saya telah sampaikan, memasuki masa SMA, saya ingin mencoba pengalaman baru yang berbeda dibandingkan ketika saya SD hingga SMP. Saya masuk MAN Insan Cendekia Serpong (MAN ICS). Bergabung sebagai bagian dari madrasah ini menjadi sebuah perjuangan tersendiri. Untuk mempersiapkannya, saya meningkatkan belajar demi memaksimalkan nilai serta menghadapi UN dan ujian SNPDB MAN ICS. Walaupun begitu, perjuangan masa SMA yang sebenarnya dimulai saat saya telah menjadi salah satu siswa MAN ICS.

Saya menjadi 1 dari sekitar 140 siswa yang berhasil menjadi siswa baru kelas X, angkatan ke-25 MAN ICS. Menjalani keseharian sekolah berasrama merupakan pengalaman baru bagi saya. Ditambah tuntutan akademik yang tinggi, saya harus segera beradaptasi dengan lingkungan baru ini. Semester pertama berjalan lumayan lancar. Saya masuk jurusan MIPA dan saya berusaha belajar maksimal seperti biasanya. Saya pun mengikuti OSIS sebagai bagian dari divisi jurnalistik dan berkontribusi dalam berbagai kepanitiaan kegiatan lainnya. Saya juga terus mencoba mengikuti perlombaan hingga akhirnya saya maju hingga KSN Biologi tingkat Kota Tangerang Selatan. Segalanya relatif tenteram, tetapi ini berubah ketika Covid-19 masuk Indonesia pada Maret 2020.

Semester kedua tidak berjalan sebagaimana yang saya harapkan. Saya mengalami penurunan nilai dan performa belajar. Hal ini salah satunya karena saya adalah tipe pelajar yang efektif belajar tatap muka di kelas dengan memperhatikan penjelasan guru. Saya masih tidak terbiasa belajar secara daring. Berbagai macam distraksi membuat konsentrasi saya buyar sehingga saya tidak dapat memahami pelajaran dengan baik. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa manajemen waktu saya masih sangat buruk sehingga saya seringkali terlambat dalam menyelesaikan tugas.

Hal ini berlanjut secara terus-menerus hingga semester ketiga dan keempat. Beban akademik kelas XI ditambah tanggung jawab saya sebagai koordinator divisi jurnalistik yang baru membuat saya harus memutar otak dalam menjalani keseharian saya. Walaupun begitu kondisi saya tidak makin membaik. Sangking buruknya saya tidak lagi berharap nilai ujian saya di atas KKM sekolah, tetapi saya hanya berharap nilai tersebut dapat lebih besar daripada ukuran sepatu saya.

Saya merasa bingung dengan diri saya sendiri. Mengapa hal ini dapat terjadi, sedangkan teman-teman saya dapat meningkatkan kualitas belajar mereka di rumah? Mengapa dengan segala kemunduran yang saya alami, saya tidak segera memperbaikinya? Saya pun sadar bahwa akar dari permasalahan ini merupakan diri saya sendiri. Saya sudah tahu secara jelas apa saja kesalahan yang saya buat, tetapi saya tidak membuat diri saya menjadi lebih baik dan seakan-akan saya kabur dari permasalahan yang diri saya sendiri buat. Saya mengalami fase depresi yang mencapai titik terendahnya saat beberapa minggu sebelum penilaian akhir tahun di semester keempat. Saya mulai menyerah dan menanyakan apakah hidup ini bahkan ada artinya. Namun setelah titik terendah itu, di mana sempat terjadi drama antara saya dengan diri saya sendiri juga orang tua saya, saya tersadarkan. Saya sadar, berubah merupakan hal yang mudah, tetapi diri saya lah yang mempersulitnya.

Kenaikan kelas XII, saya hanya mempunyai sedikit harapan. Setelah megikuti Semester Pendek (SP) untuk tiga pelajaran di ujian akhir kelas XI, saya merasa bahwa kecil harapan bagi saya untuk melanjutkan pendidikan di MAN ICS. Di tengah perjalanan pulang ke kampung halaman di Sumatera Barat, tepatnya saat saya dan keluarga sedang berada di tol Lampung, pembagian rapor semester genap kelas XI sekaligus kenaikan ke kelas XII dilaksanakan secara daring. Terlepas dari segala kekhawatiran saya, pada akhirnya telah nyata bahwa saya masih diberi kesempatan, saya masih dapat berharap lega. Saya naik kelas XII.

Awal kelas XII, pembelajaran masih dilaksanakan secara daring. Kekhawatiran melanda saya bahwa apa yang terjadi selama pandemi sebelumnya akan terulang lagi di semester ini. Namun, kali ini ada keinginan berbeda dari diri saya. Saat ingin melakukan sesuatu, apakah itu akan memulai atau menunda suatu kegiatan, saya selalu menanyakan kepada diri saya apakah saya akan menyesali apa yang saya akan lakukan sepuluh tahu yang akan datang. Mulai dari sini, saya mencoba untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi, baik bagi diri sendiri maupun orang-orang terdekat saya.

Masuk bulan Oktober, diumumkan bahwa pembelajaran akan kembali dilaksanakan secara luring. Walaupun terdapat rasa malu di hati saya terhadap guru-guru atas kinerja belajar saya beberapa semester sebelumnya, saya tetap berharap saya dapat memperbaikinya di semester ini karena banyak yang mengatakan bahwa semester kelima merupakan salah satu, jika bukan, semester terpenting masa SMA untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan selanjutnya. Jika diingat kembali, hanya dalam hitungan bulan saja saya akan menyelesaikan lembaran saya untuk masa SMA ini.

Di kelas XII ini, saya mulai merasa saya dapat kembali ke pribadi saya sebelumnya. Pembelajaran tambahan dan latihan soal semakin ditingkatkan intensitasnya. Saya pun mulai merencanakan bagaimana lembaran hidup dan pendidikan saya di perguruan tinggi selanjutnya. Pertanyaan itu pun datang kembali ke benak saya. Apa cita-cita saya?

Dari sinilah kebimbangan kembali melanda, di tengah usaha untuk memperbaiki diri saya, saya tertegun oleh pertanyaan apa yang saya ingin raih sebagai cita-cita dan masa depan saya, dengan waktu yang sudah tidak banyak ini. Saya pun kembali memikirkan apakah saya akan menjadi seorang arsitek saja. Saya pun berkonsultasi ke guru-guru Bimbingan & Konseling (BK) dan terus mengikuti seminar maupun sosialisasi mengenai pergurun tinggi yang BK programkan.

Di tengah perjuangan belajar saya dalam menghadapi UTBK-SBMPTN, karena saya sudah tahu dengan sangat pasti bahwa saya tak akan masuk daftar elligible SNMPTN, saya terus mencari jati diri saya. Arsitektur, Farmasi, Bioteknologi, dan Kedokteran terus berputar dalam pertanyaan ingin mengambil jurusan apa di perguruan tinggi nanti. Walaupun awalnya saya tertarik untuk mencoba perguruan tinggi luar negeri, saya untuk sekarang sudah merasa cukup untuk menggali potensi di perguruan tinggi dalam negeri terlebih dahulu. Saya lalu mulai merasa yakin bahwa Farmasi atau Arsitektur adalah jurusan yang akan saya ambil. Saya pun mulai menlusuri lebih lanjut universitas apa yang akan saya pilih dan bagaimana pembelajarannya nanti.

Namun, di tengah perjuangan ini, orang tua saya memiliki pendapat yang sedikit berbeda. Datang dari latar keluarga kepolisian, ayah saya ingin saya mengambil alur kemiliteran. Sedangkan sebagai impian ibu saya yang belum terwujud untuk menjadi seorang perawat, ibu saya ingin saya meneruskannya dengan menjadi seorang dokter. Kembali lagi, saya bimbang. Apa yang akan saya pertahankan. Saya pun berpikir secara rasional, mana yang lebih membawa kepada kebaikan dan mana yang lebih kepada ketidakbaikan. Saya ingat kembali bahwa menjadi seorang dokter adalah bentuk pengabdian yang sangat mulia, ditambah dengan pengabdian kepada orang tua. Setelah berpikir panjang, sampailah saya pada satu kesimpulan. Saya ingin membahagiakan orang tua saya. Jalan apa pun yang akan saya ambil, jika itu dapat membahagiakan orang tua saya, maka saya merasa senang, cocok, dan cukup. Toh saya sudah senang dengan Biologi dan juga denang untuk mengajarkannya kepada taman-teman saya sedari SMP.

Dua minggu sebelum pendaftaran UTBK-SBMPTN, saat saya menghadiri pemakaman almarhumah nenek saya yang baru saja meninggal dunia, saya memantapkan keputusan saya kepada orang tua saya. Saya ingin menjadi dokter, dan itu adalah keinginan saya tanpa paksaan dari siapa pun. Orang tua saya bahagia hingga hampir saja menetaskan air mata, dan begitu pun saya. Walaupun saya tidak sempat untuk merawat & mengobati nenek saya sebelum kepergiannya, saya ingin agar orang lain, terutama yang terdekat dengan saya, dapat saya bantu dalam mencapai kesehatan.

Saya pun mendaftarkan Kedokteran di kedua pilihan UTBK-SBMPTN. Namun, di antara kedua pilihan tersebut, saya tidak memilih Universitas Indonesia sebagai salah satunya. Saya sudah merasa masuk Kedokteran lewat UTBK-SBMPTN adalah hal yang sangat sulit, hampir mustahil bahkan, apalagi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya sadar bahwa perjuangan belajar saya masih sangat kurang sekali hingga di titik bahwa adalah sebuah keajaiban jika saya lulus Kedokteran melalui UTBK-SBMPTN. Saya hanya berdoa kepada Allah SWT, “hamba mohon luluskanlah hamba di Kedokteran, apapun perguruan tingginya itu agar hamba dapat lebih banyak beribadah & bersyukur kepada-Mu juga berbakti kepada orang tua, keluarga, & bangsa, tetapi, jika Engkau berkehendak lain wahai Zat yang Maha Kuasa, hamba percaya bahwa Engkau adalah sebaik-baik Perencana, dan hamba akan lebih bersyukur dengan apapun jalan yang Engkau putuskan karena itu bagi hamba adalah sebaik-baik ketetapan dari-Mu yang Maha Mengetahui lagi Maha Sempurna.” Jika permohonan saya terkabul, saya akan merasa senang karena saya tahu itu adalah keinginan saya. Namun, jika ternyata telah ditetapkan jalan lain, saya akan lebih senang karena saya tahu itu adalah keinginan Allah SWT.

Datang hari pelaksanaan UTBK-SBMPTN dan sudah seperti yang saya duga, hari itu berjalan jauh dari apa yang saya harapkan. Telah nyatalah bahwa adalah sebuah keajaiban jika saya lulus Kedokteran melalui UTBK-SBMPTN. Untuk beberapa hari saya tetapkan untuk rehat sejenak hingga hari wisuda SMA. Saya sudah berjuang semmapu saya, sekarang hanya tinggal memaksimalkannya legi untuk menghadapi seleksi-seleksi mandiri. Sedih? Pasti. Kecewa? Tentu. Harapan? Tetap ada.

Setelah wisuda, saya mulai lebih menyeriuskan diri. Latihan soal, review materi, dan try out sudah menjadi asupan saya sehari-hari. Saya pun mendaftar ke banyak seleksi mandiri. Beberapa tetap terpilih Kedokteran, beberapa Farmasi, beberapa Arsitektur, dan beberapa jurusan lainnya. Saya rasa ini telah menjadi penengah terhadap kebimbangan pemilihan jurusan perguruan tinggi sebelumnya. Satu per satu proses seleksi dan ujian saya lalui. Alhamdulillah, permohonan pun terkabul.

Pada 12 Juli 2022, saya lulus seleksi UM di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Perasaan senang tumpah ruah, hati pun lega. Dua hari kemudian, pada 14 Juli 2022, saya lulus SIMAK di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya sempat tak percaya pada awalnya. Berkah sebegitu banyaknya datang dari arah yang tak saya duga-duga. Walaupun saya kembali dilanda kembimbangan dan setelah banyak pertimbangan, saya akhirnya memilih FKUI sebagai rumah saya berikutnya dalam melanjutkan lembar kehidupan saya.

Dengan berkah yang melimpah ruah ini, saya berkomitmen bahwa saya tidak akan membiarkan kesempatan ini berlalu begitu saja. Saya ingin meneguhkan diri agar di lembaran baru kehidupan saya ini, saya dapat lebih tepat waktu dalam segala hal, proaktif, dan memenuhi potensi diri dan fasilitas yang ada. Saya ingin agar saya dapat istiqomah dan tekun dalam belajar, berteman baik, memperbaiki diri, bersyukur, dan memaksimalkan pengabdian saya kepada masyarakat, keluarga, & bangsa. Saya harap saya dapat menjadi versi terbaik dari diri saya dan angkatan FKUI tahun 2022 ini dapat menjadi keluarga baru yang bersatu untuk saling mendukung seluruh anggotanya sehingga tak ada yang merasa ditelantarkan dan kita dapat maju bersama-sama dan juara bersama-sama.

Selama fase praklinis ini tentunya saya berencana untuk mengenggam erat seluruh materi dasar maupun lanjutan sepenuhnya karena saya tahu bahwa ini akan menjadi dasar dari segala penabdian saya. Di samping hal-hal akademis, saya juga ingin ikut berpartisipasi aktif dalam bidang nonakademis, mengingat banyaknya wadah untuk berkembang di Universitas Indonesia ini. Hal-hal tersebut tentunya saya lakukan dengan memaksimalkan belajar saya di kelas maupun secara mandiri dan dengan aktif mengikuti beragam kegiatan, kepanitiaan, & UKM yang ada.

Sedangkan selama fase klinis hingga seterusnya saya menjadi dokter yang sebenarnya, saya ingin agar saya dapat mengabdi kepada masyarakat dengan sepenuh hati. Saya ingin ilmu yang telah saya resapi sebelumnya terealisasi untuk kebaikan sebanyak-banyak orang. Saya ingin agar saya dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi umat manusia pada umumnya. Hal ini pun akan saya wujudkan dengan mengabdi tanpa pamrih dan berusaha sekuat tenaga demi kebermanfaatan bersama.

Saya harap selama saya mengabdi sebagai seorang dokter, saya juga dapat meyakinkan kepada masyarakat betapa pentingnya kesehatan itu, baik jiwa maupun raga. Karena segala kebaikan dimulai dari jiwa & raga yang sehat. Kesehatan adalah hal yang tak ternilai berharganya dan sudah sepatutnya menjadi hak yang dimiliki oleh setiap manusia. Saya juga berharap seluruh rakyat dari segala golongan dapat mengakses fasilitas kesehatan tanpa takut harus mengeluarkan banyak dana demi mendapat prioritas. Saya yakin kesehatan sosial dapat tercapai.

Adapun untuk adik-adik yang akan melanjutkan jejak kedokteran ini, pesan yang saya tuturkan adalah, “kejar kebenaran.” Kebenaran terhadap hati nurani, diri sendiri, dan kemaslahatan umum. Pastikan terdapat dalam hatimu itu kemauan pribadi kepada perubahan menuju kebaikan. Pegang teguh sumpahmu sebagai seorang dokter dan gunakan ilmu & kemampuanmu untuk sebanyak-banyak umat manusia.


 
 
 

Recent Posts

See All

Comments

Couldn’t Load Comments
It looks like there was a technical problem. Try reconnecting or refreshing the page.

Find Us On!

  • Instagram
  • Twitter
  • Youtube

© 2022 FKUI Brilian

bottom of page