Narasi Perjuangan - Nabila Kanyaka Ryanto
- FKUI 2022
- Aug 14, 2022
- 10 min read
Menghidupi Kembali Cita yang Tertunda
Halo untuk siapa pun yang membaca esai ini! Perkenalkan aku Nabila Kanyaka Ryanto, biasa dipanggil Kanyaka atau Kanya. Aku berasal dari SMAN 8 Jakarta angkatan 2021. Saat ini, aku sedang menempuh pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter kelas reguler, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Aku masuk melalui jalur SIMAK UI.
FKUI merupakan sebuah impian untukku. Bahkan, bisa dibilang cinta pertamaku. Ada berbagai motivasi yang mendorong diriku untuk bisa masuk ke FKUI. Pertama, kesempatan untuk menempuh pendidikan serta mewujudkan cita-cita di salah satu pendidikan kedokteran terbaik dan tertua di Indoneisa. Kedua, biaya pendidikan per semester yang dapat menyesuaikan kondisi finansial dan cukup terjangkau untuk sebuah FK. Ketiga, kampus UI masih satu kota dengan tempat tinggal. Jadi, aku tidak perlu nge-kost yang tentunya menghemat pengeluaran. Selain itu, tersedia transportasi ke kedua lokasi gedung perkuliahan yang dapat diakses dengan mudah. Keempat, gedung FKUI baik di Salemba maupun RIK (Rumpun Ilmu Kesehatan UI) dilengkapi oleh fasilitas yang memadai, mulai dari alat hingga memiliki rumah sakit sendiri. Oleh karena itu, aku merasa proses pembelajaranku di sini dapat didukung secara maksimal.
Dokter telah menjadi cita-citaku sejak kecil. Ketertarikan aku terhadap dunia medis dimulai ketika penyakit jantung almarhum kakekku kambuh. Saat itu, aku masih duduk di bangku SD. Obrolan keluarga mengenai penyakit dan tindak lanjut operasi yang dibutuhkan kakek sering tidak sengaja terdengar olehku. Walaupun tidak mengerti sama sekali, kanyaka kecil menganggap hal ini menarik. Terkadang aku menanyakan kembali kepada orang tua. “Bu, Mbah Kakung (panggilan untuk kakek) kenapa? Ring jantung buat apa? Emang harus operasi?”. Maklum namanya bocah semua hal dipertanyakan. Dengan rasa sabar, orang tuaku tetap menjelaskan semua yang diketahuinya menurut penjelasan dari dokter. Ujung-ujungnya pun, aku masih tidak mengerti. Di suatu kesempatan saat kakek menjalani rawat inap, aku melihat bagaimana seorang dokter bekerja memeriksa kakek. Dengan sangat fokus dan seksama, mereka memastikan kondisi kakek stabil dan baik pascaoperasi. Tidak hanya pintar secara akademis, para dokter ini dapat berkomunikasi dengan sangat baik, bahkan bercanda tawa, dengan keluargaku. Tentu aku kaget karena melihat situasi yang cukup serius setelah tindakan operasi yang cukup berat. Aku sendiri merasa gelisah terus saat itu, bahkan sudah memikirkan yang tidak-tidak. Namun, mereka dapat mencairkan suasana dan memberikan suatu ketenangan dalam hati, seperti “Oh Mbah gpp”. Peristiwa ini membuatku terkesima dan menjadi core memory. Rasa penasaranku terus tumbuh seiring berjalannya waktu, tidak hanya terhadap penyakit ini, tetapi juga semua hal. Aku menemukan jawabannya di tiap tahap pendidikan, mulai dari TK, SD, SMP, dan SMA. Berikut cerita kilas balikku.
Memasuki sekolah dasar, aku belum tahu ingin menjadi apa saat besar nanti. Di pikiranku hanya main karena hal ini membuatku senang. Hingga sekitar kelas 4 SD, aku mulai mempelajari anatomi dan fisiologi tubuh. Walaupun hanya membahas beberapa sistem organ secara general, aku cukup antusias dalam mempelajarinya. Aku juga kesusahan dalam memahami dan menghafal nama-nama organ, enzim, dll. Namun, aku sadar kalau aku suka dengan ilmu ini. Akibat rasa suka tersebut, aku merasa tidak keberatan mempelajarinya. Ini menjadi momen di mana aku sadar dan tahu apa yang akan kukejar. Sejak itu, aku pun mulai ceplas-ceplos ingin menjadi dokter tanpa menyadari seberapa besar perjuangan dan seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Saat itu, di pikiranku hanyalah suka dan tidak keberatan mempelajari ilmu tersebut. Singkat cerita ke kelas 6 SD. Satu tahun menjelang ujian nasional. Ibuku mendaftarkan aku di suatu bimbingan belajar. Kata ibu, ini untuk mendukung pembelajaran mempersiapkan ujian nasional. Aku tahu itu ujian yang sangat penting untuk masuk ke SMP terbaik. Namun, aku tidak tahu SMP terbaik itu apa, dimana, dan kenapa harus SMP terbaik. Aku berpikir semua SMP sama aja. Namun, ibuku terus menasehati dan memotivasi diriku. Aku ingat dulu tiap melewati SMPN 115 Jakarta di Tebet, ibu selalu bilang ini SMP terbaik. Kata ibu, biasanya yang masuk sini sebagian besar dari SD K (nama samaran) karena isinya anak-anak pintar. Di saat itu, aku merasa tertantang. Aku mengakui ada sedikit rasa ingin balas dendam atau membuktikan diri ke SD tersebut kalau cukup pintar masuk ke SMP ini. Rasa ini timbul akibat dulu aku ditolak SD K. Aku merasa dapat mengerjakan tes masuk dengan maksimal, serta hasil pemeriksaan kesehatanku cukup baik, tetapi aku tetap tidak lolos. Kegagalan ini yang membangkitkan semangatku untuk masuk ke SMP ini. Hingga saatnya pengumuman Ujian Nasional, aku memperoleh nilai ujian nasional (UN) tertinggi di sekolahku, bahkan mengalahkan beberapa peringkat top di SD K. Dengan nilai ini, aku dapat masuk ke SMPN 115 Jakarta. Aku merasa bangga dan puas dengan pecapaian ini. Akhirnya aku dapat membuktikan diri kepada SD tersebut kalau aku bisa. Namun, di sisi lain, aku merasa pemikiran ini salah. Seharusnya aku mencapai hal ini untuk diriku sendiri, bukan sebagai ajang pembuktian diri kepada pihak lain.
Selama di SMP, aku mulai berpikir jauh ke depan. Aku ingin menjadi sesorang yang berguna di masa depan. Seseorang yang memiliki value tersendiri dimana implementasinya dapat membantu orang lain. Dokter memang harus pintar. Namun, itu tidak cukup. Baik hard skill maupun soft skill dibutuhkan di dunia kerja. Oleh karena itu, aku mulai ikut kepanitiaan dan kegiatan nonakademis lainnya. Dari pengalaman ini, aku belajar bagaimana cara berhubungan dan berkomunikasi baik dengan orang lain dalam mengoordinasikan acara besar. Aku juga tetap memprioritaskan akademis. Seperti biasa, naik ke kelas 3 SMP atau kelas 9, aku fokus penuh pada akademis untuk mempersiapkan UN. Aku mengikuti bimbel dan les privat untuk mendukung proses pembelajaran. Di SMPN 115, untuk membantu mempersiapkan muridnya menghadapai UN, diadakan try out tiap beberapa minggu/bulan sekali. Peringkat hasil dari try out tersebut diumumkan secara individu dan per kelas. Kelasku tidak pernah masuk ke lima peringkat kelas dengan rata-rata try out tertinggi. Namun, teman-temanku tidak menghiraukan hal tersebut dan menjadikan itu candaan atau sarana hiburan. Entahlah karena rasa capek atau jenuh dengan segala persiapan ujian. Setelah UN dilaksanakan dan diumumkan hasilnya, kelasku memperoleh nilai sempurna di mata pelajaran matematika terbanyak dibandingkan kelas lain. Alhamdulillah nilai UN aku cukup utnuk masuk ke SMAN 8 Jakarta. Singkat cerita, sama halnya sewaktu SD, aku tidak tahu SMA bagus apa aja. Awalnya aku ingin masuk ke SMA XX karena dulu bapak di situ. Namun, ibu kurang setuju. Ibu berpendapat bahwa aku bisa mencapai lebih dan mampu masuk ke salah satu SMA terbaik di Indonesia, yaitu SMAN 8 Jakarta. Ibu mana yang tidak mau terbaik untuk anaknya. Akrhinya, aku mempercayai dan mengikuti nasehat ibu.
SMA atau masa putih abu-abu. Di masa ini, rasa penasaranku memuncak sekaligus penuh kejutan. Aku ingin mencari kesenangan di luar akademis. Hal ini dikarenakan aku sempat merasa jenuh dan bosan dengan sistem belajar yang terus berulang. Smandel (SMAN 8 Jakarta) mewajibkan muridnya mengikuti satu ekstrakurikuler nonfleksibel. Aku cukup tertarik dengan sispala di SMAN 8, yaitu Puapala (Putri-Putra Pecinta Alam Delapan). Ini ekskul yang pertama kali kudengar saat masuk ke sini. Selain itu, saat regisrasi murid baru, hal yang pertama kali aku notis di sekolah adalah wallclimb Puapala. Aku berpikir “Kayaknya seru deh”. Ibuku juga menyarankan aku untuk ikut ekskul ini aja karena terkenal dengan ikatan intra dan antarangkatan yang erat. Namun, dari cerita tersebut juga, ekskul ini cukup berat akibat latihan fisiknya. Jadi, harus bisa membagi waktu agar tidak keteteran dari segi akademis dan nonakademis. Dengan berbagai pertimbangan, aku memutuskan akan masuk ke PMR karena bidangnya sama dengan cita-citaku. Lanjut saat kegiatan pemilihan ekskul, aku tidak bisa menemukan bendera PMR. Para kakak panitia sudah mulai menghitung mundur, tetapi tetap hasilnya nihil dan malah menemukan benda Puapala.. Akhirnya aku lari ke sana di hitungan terakhir. Cerita ini cukup lucu bagiku. Keputusan yang sangat impromptu sekaligus terbaik hingga saat ini. Tidak ada rasa penyesalan sedikit pun. Aku bisa merasakan masa “terindah atau putih abu-abu” seperti yang orang-orang bilang. Di sisi lain, aku mulai tidak fokus terhadap akademis. Di saat teman-temanku mengejar SNM sejak kelas 1 SMA, aku sudah merasa pesimis terlebih dahulu. Akhirnya, aku baru mulai mempersiapkan UTBK saat memasuki kelas 3 SMA. Bisa dibilang awalnya cukup berat karena aku tidak terbiasa dengan sistem pembelajaran online. Dalam mempersiapkan UTBK, aku mengikuti bimbel di 3 tempat. Yang aku ingat selama 1 tahun persiapan UTBK, secapek-capeknya aku belajar hingga larut malam atau bahkan tidak tidur, aku tidak lolos. Memasuki tahap jalur mandiri, mindsetku berubah. Sudah waktunya realistis, tidak idealis. Yang penting tahun itu aku kuliah dan mewujudkan cita-cita kupikirkan terakhir. Hasilnya aku lolos ke 6 PTN berbeda, tetapi tidak ada yang kedokteran. Info tambahan, pilihan pertama UTBK-ku bukan FKUI, aku menurunkan pilihan ke fakultas kedokteran lainnya. Kenapa? Aku sudah tidak percaya diri dan pesimis terlebih dulu sebelum mencoba.
Realita dunia cukup menanmparku waktu itu. Namun, aku berusaha ikhlas dan melihat hal ini dari sisi terangnya aja. Aku memutuskan untuk menempuh pendidikan di salah satu institut di Bandung. Beberapa bulan pertama, aku masih merasa berat hati menjalankan perkuliahan. Tetapi, aku juga berpikir bahwa semua hal butuh waktu dan proses. Aku mulai mencoba membuka hati ke studi ini. Dari sini, aku bertemu banyak temen baru. Ini yang membantuku melewati masa-masa berat. Teman-temanku sangat suportif sehingga lingkungan perkuliahanku positif. Dengan ini, aku bisa menikmati kegiatan perkuliahan. Bahkan, suka dengan beberapa mata kuliahnya. Pada semester pertama, belum terpikirkan untuk mengulang atau mencoba mengejar cita-cita kembali, karena keseruan dalam menjalani kuliah di situ. Di masa transisi semester 1 ke 2 atau selama liburan semester, aku menyadari sesuatu. Aku berpikir lagi, purpose atau tujuanku disini untuk apa. Studi ini memiliki prospek kerja yang sangat-amat luas. Namun, aku masih tidak tahu bahkan setelah riset berkali-kali. Teringat kembali cita-citaku. Ada rasa masih ingin mengejar, tetapi juga merasa sudah tidak sempat. Empat bulan untuk mempelajari ulang materi UTBK. Itu pun juga terpotong oleh praktikum dan ujian kuliah lainnya. Akhirnya, dengan modal nekat, sebagai kesempatan terakhirku mengejar cita-cita, aku memutuskan untuk mencoba lagi. Berbeda dengan sebelumnya, aku akan melakukan ini demi diri aku sendiri. Aku tidak berharap banyak terhadap hasil seleksi, setidaknya aku sudah berusaha selama dua tahun terakhir. Pada tanggal 14 Juli 2022 jam 16.30 WIB, aku diberikan kesempatan lagi oleh Allah untuk mewujudkan impian lamaku di FKUI.
Ada cerita dan hikmah tersendiri di setiap tahap pendidikan yang sudah dijalani. Sebelum diterima di FKUI, aku memiliki komitmen untuk mencari pengalaman baru, mengapresiasi tiap hal, dan intropeksi diri. Setelah diterima di FKUI, aku berkomitmen untuk tetap terus bersyukur. Dan selama di FKUI, aku berkomitmen menjadi pribadi yang lebih baik dan fokus menjalani pendidikan dengan optimal. Hal ini merupakan suatu pecapaian yang telah kutunggu dan kuimpikan sejak kecil. Aku akan memastikan perjuanganku ini tidak sia-sia.
Harapan untuk diriku sendiri adalah aku dapat terus belajar baik dari pengalaman atau perjalanan sebelumnya maupun di masa mendatang. Sesuai dengan komitmenku, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku masih merasa ini sebuah keajaiban. Perjalananku mungkin tidak sesuai dengan apa yang kupetakan sejak kecil. Banyak cobaan yang diberikan Tuhan, tetapi itu lah yang membuatku semakin kuat dan belajar di tiap rintangan tersebut. Aku juga berharap dapat membagi waktu dengan baik. Beban kuliah kedokteran sendiri sudah berat dengan jadwalnya yang cukup padat. Di sisi lain, aku juga membutuhkan sebuah “kehidupan”, tidak hanya dipenuhi dengan belajar, belajar, dan belajar. Jadi, aku berharap bisa menerapkan work-life balance untuk kedepannya. Sedangkan, untuk teman-teman FKUI angkatan 2022, aku berharap kita dapat berproses bersama. Mungkin untuk sekarang masih ada kekurangan, tetapi hal itu wajar. Sesuatu yang instan tidak akan bertahan lama. Masih ada waktu untuk memperbaikinya, serta mari jadikan kekurangan tersebut pondasi dari sebuah angkatan yang kompak. Aku juga berharap, kita dapat membentuk suatu lingkungan positif yang saling membantu dan mendukung/support satu sama lain selama perkuliahan.
Hingga saat ini, rencana jangka pendekku selama masa preklinik adalah mengikuti kegiatan nonakademis baik intra maupun ekstrakampus di bidang kemasyarakatan. Saat menjadi dokter nanti, aku akan berinteraksi banyak dengan setiap lapis masyarakat. Aku perlu mempersiapkan diri dalam menghadapi bermacan-macam pasien. Jadi, aku perlu modal atau pengalaman secara praktikal untuk mendukung ilmu yang kudapatkan di perkuliahan. Yang kedua, aku dapat lulus dan mendapatkan gelar sarjana kedokteran tepat waktu. Au juga memasang target untuk dapat lulus dengan nilai terbaik, kalau bisa dengan IPK minimal 3 atau dengan predikat cumlaude, kalau bisa. Aku ingin merasakan dipanggil ke panggung saat lulus nanti. Ingin dilihat orang tua kalau anaknya dapat menyelesaikan pendidikannya dengan baik dan mewujudkan cita-citanya. Aku ingin hal ini menjadi “hadiah” untuk mereka atas dukungan dan pengorbanan mereka selama ini. Cara mencapai hal ini adalah dengan konsisten dengan komitmenku dan tetap menerapkan work-life balance. Sedangkan, untuk jangka panjang, aku berencana untuk melanjutkan pendidikan ke spesialis. Dari dulu aku suka dengan hal-hal yang berbau jantung. Jadi, aku ingin mengambil pendidikan spesialis jantung dan pembuluh darah. Aku masih belum tahu di spesialin PTN mana, tetapi aku memasang target untuk melanjutkannya di UI. Tentunya keinginan ini cukup, bahkan sangat berat. Aku akan bersaing dengan para dokter hebat di seluruh Indonesia. Selain itu, aku juga baru tahu kalau spesialis ini merupakan salah satu yang terkompetitif. Rasa takut dan pesimis pasti ada, tetapi tidak ada hal yang tidak mungkin juga, jadi aku akan terus mengejar pendidikan ini. Namun, ada kemungkinan juga dapat berubah haluan seiring berjalannya waktu. Untuk mencapai ini, banyak hal yang perlu disiapkan dan dicicil dari sekarang. Selain fokus pada akademis, aku akan mencoba aktif dalam mengikuti perlombaan, kepanitiaan, atau volunteer.
Dunia sekarang sudah berubah. Pandemi COVID-19 membuat kita semua belajar banyak. Baik dari segi ekonomi maupun kesehatan, setiap aspek kehidupan kita terdampak ke arah positif atau negatif. Berdasarkan observasiku, tingkat kewaspadaan sebagian besar masyarakat terhadap kebersihan dan kesehatan meningkat drastis. Sebagai contoh, sebelum pandemi, aku dan keluargaku hanya mengonsumsi vitamin di saat-saat tertentu. Namun, sekarang kita seudah terbiasa mengonsumsi vitamin sebagai booster imun tubuh tiap hari. Selain itu, dalam berpergian, aku melihat hampir tiap orang membawa hand sanitizer. Tidak hanya itu, di tiap ruang publik pasti banyak disediakan hand sanitizer. Hal ini didukung dengan adanya pemberitahuan atau sounding berulang dan poster kebersihan/sanitasi di tiap sudut ruangan. Oleh karena itu, aku berharap masyarakat dapat tetap konsisten mengutamakan kebersihan dan kesehatan, sekaligus mengubah yang awalnya sebuah keharusan menjadi kebiasaan. Yang kedua, aku berharap masyarakat tidak merasa takut untuk ke dokter. Memang ada peribahasa sehat itu mahal. Namun, sekarang banyak fasilitas yang mudah diakses dan disediakan pemerintah atau swasta. Aku menulis hal ini karena aku sering mendengar cerita dari keluarga, temen, atau di berita, seperti takut didiagnosis suatu penyakit atau untuk yang patah tulang, mereka terkadang lebih milih ke tukang urut atau pijit daripada ke dokter. Aku merasa masih ada sebagian masyarakat yang lebih percaya pada keyakinan turun-temurun daripada secara ilmiah atau sains. Padahal zaman sekarang teknologi sudah maju atau advantif, tidak seperti dulu. Jadi, aku berharap masyarakat dapat lebih kritis dan tidak skeptis terhadap pelayanan kesehatan.
Pesan dari aku untuk para pejuang FKUI adalah nikmatin prosesnya. Perjalananmu masih panjang. Perjuangan kamu pun, mungkin, tidak semulus yang kamu kira, akan penuh dengan lika-liku. Hidupmu akan terus diisi oleh tiga hal berikut, yaitu cita-cita, kesuksesan, dan kegagalan. Namun, itu lah rencana tuhan. Jadikan hal itu sebagai cobaan, bukan hambatan. Dan karena itu, kamu akan semakin kuat. Masuk ke sini hanyalah titik awal dari perjalanan panjang lainnya. FKUI boleh menjadi impian dan patokan, tetapi jangan dijadikan satu-satunya kunci kesuksesan kamu. Semua pendidikan kedokteran di Indonesia sama-sama bagus. Apa yang dipelajari di FKUI sama di kedokteran lainnya. Yang berbeda hanyalah wadahnya. Jika bercita-cita menjadi doker, kamu bisa meraih ini di kedokteran mana pun. Selain belajar dengan giat, jangan sampai lupa dengan Tuhan. Yakin jalur langit itu ada karena aku mengalaminya. Kamu harus yakin sama dirimu sendiri. Satu hal penting yang harus diingat, jangan pernah malu dengan kegagalan. Jangan menghiraukan opini atau pendapat orang lain. Apa pun hasil yang diperoleh, baik yang diinginkan maupun tidak, kamu patut bangga dengan perjuanganmu. Karena di ujung hari, ini hidupmu, karirmu, mimpimu, dan realitasmu.
Kommentare