Narasi Perjuangan - Michael Christianto
- FKUI 2022
- Aug 14, 2022
- 10 min read
Doa Menengadah yang Terbayar Sudah
Halo kamu yang sedang membaca tulisan ini! Kenalin, nama aku Michael Christianto, biasanya aku dipanggil Michael ataupun Mike. Aku berasal dari Sekolah Menengah Atas Terpadu Pahoa Gading Serpong, sebuah sekolah swasta yang cukup menjunjung tinggi prestasi akademis tanpa melupakan pendidikan moral di dalamnya. Aku lulus dari SMA pada tahun 2022, dan akhirnya bisa melanjutkan pendidikanku di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Reguler 2022 ini melalui jalur mandiri UI yaitu SIMAK UI.
Pada awalnya, tepatnya saat aku masih duduk di bangku SMP, aku memandang FKUI sebagai universitas dengan jurusan paling bergengsi di Indonesia. Pemikiran ini muncul akibat pandangan dari teman-teman seangkatan dan pihak keluarga yang menganggap Fakultas Kedokteran sebagai fakultas sekaligus jurusan yang sulit, eksklusif, dan spesial. Ditambah lagi Universitas Indonesia merupakan salah satu dari jajaran universitas terbaik yang tersedia di Indonesia. Kedua informasi yang aku dapat ini membuat aku merasa bahwa FKUI merupakan tujuan perguruan tinggi yang luar biasa bergengsi. Di dalam pemikiran aku yang jauh dari matang saat masih di bangku SMP, tentu aku akan menjadikan yang terbaik, terhebat, dan terkeren sebagai tujuan utamaku. aku memikirkan betapa hebatnya diri aku jika aku berhasil di terima di FKUI nanti, tanpa memikirkan sebanyak apa yang perlu dikorbankan, serta diperjuangkan semasa SMA aku nanti.
Memasuki awal SMA, pada saat aku menginjakkan kakiku di kelas 10, sadarlah aku bahwa untuk meraih suatu rekam jejak akademis yang baik, diperlukan usaha yang lebih. Berbeda dengan masa SMP di mana effort tersebut belum terlalu dibutuhkan untuk meraih angka tinggi di setiap ujiannya. Oleh karena itu, aku sadar bahwa memilih FKUI sebagai tujuan aku nanti merupakan hal yang cukup melampaui batas. Melihat track record alumni pada sekolahku, ternyata jumlah alumni yang diterima ke dalam FKUI reguler cukup sedikit. Inilah titik di mana aku merubah persepsi aku terhadap FKUI, bukan lagi untuk keren-kerenan, melainkan sebagai tantangan sekaligus ajang pengukuran kemampuan diri. FKUI menjadi tolak ukur akademis aku yang diharapkan agar dapat membantu aku untuk mendorong limit diri aku sendiri.
Namun, semakin dewasa, semakin matanglah pikiran aku. Pemahaman mengenai pengabdian sebagai seorang dokter mulai dikenalkan kepada diri aku. Perjuangan belajar kedokteran, serta pembentukan jati diri menjadi dokter yang sejati dan berkualitas menjadi highlight bagi aku. Akhirnya, aku merasa bahwa FKUI merupakan tempat yang tepat bagi aku untuk menempa diri baik fisik dan mental, serta menimba ilmu kedokteran yang berkualitas. Sampai saat ini, aku masih berpegangan pada pandangan bahwa FKUI adalah arena atau wadah untuk berkembang. Dengan segala fasilitas, program, serta nama yang telah dimiliki FKUI, masuk FKUI pada 2022 ini dapat dimaknai sebagai langkah pertama ke dalam susunan rintangan yang telah disiapkan oleh pihak Universitas Indonesia. Tentu saja akan terasa berat, namun membangun.
Keputusanku untuk masuk ke ranah kedokteran, dan pada akhirnya memilih FKUI tentu tidak hanya datang begitu saja. Banyak hal yang mempengaruhi pilihan aku sebelumnya, sampai akhirnya memilih FKUI sebagai tempat aku mengasah diri. Di luar dari motif menjadikan FKUI sebagai tolak ukur akademis dan tantangan bagi diri sendiri, ada motif lain yang membuat aku bertekad untuk mempelajari ilmu kedokteran. Semua berawal dari diri aku masih berumur 9 tahun yang saat itu sedang duduk di kursi 4 SD. Aku ingat betul saat itu aku sedang menjalani Ujian Tengah Semester di sekolah. Setelah ujian selesai, aku menuju ruang tunggu di depan sekolah untuk dijemput oleh orang tuaku. Biasanya, aku dijemput oleh ibuku, menggunakan mobil xenia silver keputihan miliknya. Namun, entah mengapa, kali ini aku dijemput oleh ayahku, menggunakan mobil innova hitam gagah miliknya. Ayahku menjemputku dan mengantarkanku ke dalam mobil, memberikan sebotol susu ultramilk coklat. Di dalam perjalanan, ada hal janggal yang aku sadari, arah perjalanan bukanlah ke rumah, melainkan ke rumah sakit di daerahku waktu itu. Akhirnya ayahku mengatakan bahwa ibuku masuk ke dalam rumah sakit.
Memasuki rumah sakit, aku sambil mengingat keadaan ibuku sehari sebelumnya, memang benar ibuku sempat mengeluh tentang rasa ngilu yang menguasai anggota gerak tubuhnya. Namun, sebagai anak yang masih tergolong anak kecil dengan usia 9 tahun, tentu aku tidak punya gambaran ataupun kecurigaan apa-apa tentang fenomena tersebut. Aku hanya bisa melihat ibuku sedang berbaring di ranjang rumah sakit, tanpa memberikan tempat di dalam kepalaku untuk hal-hal yang tidak mengenakkan.
Hari-hari pun berlalu dengan begitu cepat, ibuku mulai dipindahkan ke beberapa rumah sakit di Jakarta karena membutuhkan rumah sakit dengan alat dan fasilitas yang lebih lengkap. Masih bersama diriku yang tidak tahu-menahu sama sekali tentang apa tepatnya yang sedang terjadi. Aku hanya dapat melihat wajah ibuku semakin lama semakin lemah, tidak berdaya. Sampai suatu titik, ibuku mulai kehilangan kesadaran. Ibuku dipindahkan ke ruang ICU, dimonitor dengan sangat ketat dari para tenaga kesehatan. Pada akhirnya, sampailah ke hari di mana ibuku melepas segala rasa sakitnya. Ibuku dinyatakan meninggal, di dalam ruang ICU, dengan kondisi keluarga kandung sedang ada di sekelilingnya bersama kerabat-kerabat dari gereja, beserta pastor yang telah dimintai tolong untuk melakukan sakramen pengurapan. Masing-masing orang dibanjiri air mata dan teriakan histeris. Begitu juga dengan aku, bersama kakak laki-laki dan perempuanku. Hanya bermodal pengetahuan yang diperoleh pada masa SD, aku berusaha sekuat tenaga mengolah kejadian ini. “Penyakit macam apa ini? Sejak kapan mama punya penyakit ini? Apa yang memunculkan penyakit ini sejak awal?” Rasa tidak terima terhadap kejadian inilah yang memunculkan rasa ingin tahu aku yang besar terhadap dunia kedokteran. Sampai akhirnya aku berkomitmen untuk belajar menjadi seorang dokter yang hebat, sehingga bisa ikut menyelesaikan masalah kesehatan serupa dengan kejadian yang menimpa ibuku. Tidak hanya itu, tekad menjadi dokter ini juga aku maknai sebagai langkah untuk mengabdi kepada masyarakat melalui edukasi, dan pengobatan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan komitmen dan tekad tersebut, aku memilih FKUI sebagai goal aku.
Walaupun komitmen dan tekad tersebut telah terbentuk sejak SD, namun dalam diriku sendiri, aku merasa bahwa perjuanganku sebenarnya baru dimulai saat aku SMP kelas 9. Pada saat aku masih duduk di bangku SD kelas 4 sampai SMP kelas 8, aku tidak terlalu memikirkan rekam akademisku. Semuanya memang terasa mengalir begitu saja, lancar bak air mengalir melalui celah batu-batu di sungai dangkal. Tapi entah mengapa, saat aku menginjak SMP kelas 9, aku dipertemukan dengan lingkungan yang mendukung. Aku bertemu dengan teman-teman yang peduli terhadap nilai mereka. Dari sanalah ambisi aku untuk menjaga rekam akademisku muncul. Bersama teman-temanku yang juga peduli terhadap kondisi akademis serta goal mereka setelah lulus SMA, aku mulai lebih memperhatikan pengajaran yang dilakukan oleh guru SMP-ku di dalam kelas. Perlahan merasa tertarik terhadap beberapa mata pelajar di bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) seperti matematika, biologi, dan fisika. Beruntungnya, dengan segala ketekunan yang telah dilakukan selama SMP kelas 9, aku berhasil lulus dengan prestasi “Best Student” dalam angkatan 2019 kala itu.
Memasuki SMA kelas 10, sebagai siswa baru di jenjang SMA, tentu banyak ambisi dan resolusi yang ingin diwujudkan. Salah satunya menjadi siswa yang berprestasi dan tetap aktif bersosialisasi. Bermodal rasa ketertarikan dan rasa ingin tahu yang besar terhadap pelajaran minat di IPA, aku menjalani pembelajaranku di SMA dengan rasa enjoy dan senang. Mengerti suatu konsep baru, dan mampu menjelaskannya ke orang lain sehingga mereka dapat mengerti keindahan yang tersimpan dalam science menjadi hal yang aku minati. Namun, tidak lupa dengan ambisi aku untuk menjadi siswa yang berprestasi, tapi tetap aktif bersosialisasi. Akhirnya, aku wujudkan ambisi ini dengan bergabung ke dalam komunitas teater di SMA-ku, yaitu Semen Teater. Aku belajar mengungkapkan emosi ke dalam bentuk karya seni berupa lakon, pengembangan karakter, dan segala elemen yang terkandung dalam seni pertunjukan. Aku merasa adanya perkembangan terhadap pribadi aku, seperti mampu mengekspresikan rasa ataupun emosi dari dalam diri kepada orang lain dengan cara yang elegan dan menyenangkan. Dari sinilah aku memperoleh kemampuanku untuk berteman dengan orang-orang di sekitarku.
Semester 1 di SMA terasa cukup cepat, dan penuh keseruan. Saat memasuki semester 2, tepatnya saat menuju akhir dari kuartal I 2020, pandemi covid pun menyerang. Semua orang baik siswa, guru, pihak sekolah, masyarakat, dan pemerintah panik terhadap masalah ini. Tindakan lanjut yang bersifat darurat pun dilakukan, home learning atau PJJ mulai dilakukan. Semua siswa dan guru merasa sistem pembelajaran menjadi kurang efektif. Namun, kita semua terpaksa untuk bisa beradaptasi. Singkat cerita, aku menyelesaikan kelas 10 dengan seadanya karena fenomena pandemi covid yang mengejutkan. Memasuki semester 3 atau kelas 11, sistem pembelajaran di sekolah mulai membaik. Pembagian jadwal pelajaran yang jelas, dan rata telah dibentuk. Mekanisme keamanan saat ujian diperketat. Tata cara pengumpulan tugas juga diperjelas dan dipermudah. Namun, di tengah perubahan yang terjadi secara masif dan cepat ini, aku tidak boleh melupakan goal awal aku, yaitu lolos masuk FKUI. Akhirnya, sejak awal semester 4 aku memutuskan untuk mengikuti bimbingan belajar BTA yang terkenal sebagai bimbel persiapan PTN. Pada awalnya, ayahku tidak terlalu setuju aku mengikuti bimbel BTA karena biaya yang cukup tinggi, namun aku meyakinkan ayahku bahwa aku bertekad untuk masuk ke FKUI nanti dan aku membutuhkan bimbel ini sebagai bimbingan.
Akhirnya, ayahku setuju aku mengikuti bimbel tersebut. Sayangnya, selama 1 semester tersebut di kelas 11, semangat belajar aku menurun drastis. Tidak memperhatikan pembelajaran selama bimbel karena merasa ujian SBMPTN masih jauh di ujung sana. “Aku masih ada waktu” adalah penyakit aku kala itu. Sembari memperjuangkan nilai rapor yang tinggi di sekolah, aku turut mengikuti lomba baik dari non akademis seperti lomba monolog, membaca puisi, dan video making, sampai akademis seperti lomba penelitian teknik biomedis dan lomba karya tulis ilmiah sejenis lainnya. Aku juga turut berpartisipasi dalam olimpiade ternama di Indonesia, yaitu KSN. Aku berkompetisi dalam bidang fisika karena bidang tersebut sangat menarik bagi aku. Bidang dalam IPA yang dapat menjelaskan secara matematis mengenai segala kejadian di semesta ini mulai dari skala terkecil hingga terbesar. Sayangnya, aku hanya lolos sampai ke tingkat provinsi saja.
Singkat cerita, aku sudah berada di semester 5 atau kelas 12. Kewajiban untuk mempersiapkan ujian masuk PTN mulai terlihat jelas. Teman-teman seangkatan mulai mendaftarkan diri masuk ke bimbel yang sejenis dengan bimbel aku. Perjuangan yang nyata dimulai, perlahan mereview pelajaran kelas 10 dan 11. Mempersiapkan untuk ujian SBMPTN. Belajar, belajar, dan belajar. Sampai akhirnya, semester 6 pun tiba. Pendaftaran SNMPTN berada di depan mata. Jujur, aku tidak mau terlalu berharap dengan SNMPTN, namun tetap merasa yakin dengan kerja keras aku selama di SMA ini. Sayangnya, aku tidak diterima melalui jalur SNMPTN. Sempat terpukul, tapi aku pun sudah mengira hal tersebut akan terjadi, sehingga aku harus segera move on untuk SBMPTN.
Belajar tanpa henti dilakukan setiap ada waktu luang di luar tugas sekolah. Mulai dari materi mudah, menengah, sampai sulit aku usahakan untuk bisa menguasainya. Hal ini untuk mengantisipasi soal yang keluar di UTBK nanti. Singkat cerita, hari H UTBK telah tiba, merasa mampu mengerjakan TPS, namun tidak terlalu mampu di TKA khususnya untuk matematika dan fisika. Akhirnya, aku pun tidak lulus melalui jalur SBMPTN.
Kebetulan, Universitas Indonesia membuka Jalur Prestasi atau Jalur Olimpiade tahun ini. Berbekal rapor dan sertifikat yang aku peroleh selama SMA, dengan yakin aku mendaftarkan diri. Ternyata lolos tahap seleksi administratif (seleksi berkas), dan maju ke tahap seleksi wawancara. Sayangnya, aku kurang mempersiapkannya dengan baik. Aku pikir wawancara untuk jalur reguler menggunakan bahasa pengantar Bahasa Indonesia, ternyata Bahasa Inggris. Akhirnya melewati wawancara tersebut dengan kurang lancar. Tentu saja, aku pun tidak diterima melalui Jalur Prestasi ini.
Jalur terakhir, SIMAK UI. Jalur yang diminati banyak orang, diikuti oleh orang dengan jumlah yang luar biasa, namun persentase penerimaannya juga cukup besar. “Aku harus memanfaatkan ini dengan maksimal” kata diriku sambil sedikit pasrah pada goal awalku. Belajar intensif dilakukan untuk terakhir kalinya, “This is your last push, Mike.” Mendapat dukungan dari orang-orang terdekat, kekasih, teman, guru dan keluarga. Akhirnya, ujian SIMAK UI pun tiba. Aku kerjakan semampuku, semaksimalku. Seluruhnya berserah pada rencana Tuhan. “Jika ini adalah jalanku Tuhan, mohon mudahkanlah jalanku ini. Tapi, jika ini bukanlah jalanku, lapangkanlah dadaku Tuhan, ikhlaskan segala rasa sakit yang terpendam ini, Tuhan.” Tanggal 14 Juli, tanggal historis bagi hidupku. Membuka laman penerimaan UI. Ragu apakah diriku kuat untuk membuka hasil seleksinya. Bersama kakak laki-laki dan kekasihku, bersama-sama membuka hasil seleksi di laman website tersebut. “Selamat, Anda dinyatakan sebagai calon mahasiswa baru Universitas Indonesia.” Seketika tidak percaya, seketika bungkam. Sedetik kemudian, terasa seperti api yang membara memberontak untuk keluar dari dadaku. Sang euforia pun meluap. Ucapan congratulation membanjiri laman media sosialku. Rasa syukur dan lega dari ayahku terlihat di wajahnya. “Aku berhasil, menepati janji dan meraih goal aku.”
Perlu diingat, masuk FKUI bukan berarti aku bisa berhenti sampai di sini saja. Ada komitmen yang harus aku tentukan untuk ke depannya. Aku merasa sebelum masuk ke FKUI, aku selalu mencari alasan, dan menahan diri untuk melakukan hal-hal baru. aku selalu mencari alasan untuk tidak melakukan eksplorasi terhadap hal-hal di sekitar aku. Semua berdasarkan alasan bahwa aku sedang fokus masuk ke dalam FKUI. Akhirnya, sekarang aku merasa tertinggal setelah bertemu dengan orang-orang baru, mulai dari hal-hal sederhana seperti trend saat ini, nama-nama tempat seru di suatu daerah, cara melakukan suatu prosedur sehari-hari. Oleh karena itu, setelah aku diterima di FKUI 2022, aku bertekad untuk lebih membuka diri terhadap hal baru, memperluas wawasan dan berhenti berada di zona nyaman.
Harapan bagi diri sendiri di FKUI ini adalah aku bisa belajar menjadi pribadi yang lebih adaptif, berhati-hati dalam bertingkah, berpikiran terbuka, rendah hati, sehingga dapat menjadi sosok yang lebih berkarisma, dan disukai banyak orang. aku juga berharap agar diri aku bisa memiliki impact terhadap individu, kelompok ataupun komunitas yang ada di lingkungan baik di dalam FKUI, UI, dan juga di luar universitas. Bagi angkatan FKUI 2022, tentu aku memandang angkatan ini sebagai wadah aspirasi, teman seperjuangan, sekaligus guru. Wadah aspirasi, karena kalianlah tempat aku dapat mengekspresikan emosi dan ambisi yang ada di dalam diriku. Teman seperjuangan, karena kalianlah orang-orang yang akan menemani aku dalam menghadapi lika-liku perkuliahan di fakultas kedokteran ini. Guru, karena aku yakin setiap individu dalam angkatan FKUI 2022 ini memiliki hal yang lebih dari milikku, dan aku memposisikan diri sebagai gelas yang setengah penuh, agar bisa diisi dengan ilmu dari teman-teman, sekaligus bisa memberikan segenap ilmu yang aku miliki kepada angkatan. Aku harap, angkatan ini bisa menjadi angkatan cerdas, solid, tangguh, serta rendah hati dalam waktu yang bersamaan, karena kita hadir sebagai keluarga yang utuh dan terpelajar.
Rencana jangka pendek selama preklinik adalah menjadi mahasiswa aktif, memperluas relasi, tekun mencari wadah menimba ilmu, mencetak segenap prestasi, serta mempelajari kepemimpinan melalui organisasi. Cara konkritnya adalah dengan mulai berkenalan dengan orang banyak, baik teman seangkatan maupun kakak tingkat. Dengan begitu, aku dapat menjadikan relasi aku tersebut sebagai wadah untuk belajar. Selain itu, melalui referensi yang telah disediakan oleh FKUI melalui kelas, modul, serta referensi dari luar, aku ingin mempelajari sebanyak yang aku mampu, dan menjadikan “belajar” bukan sebagai rutinitas saja, melainkan sebuah hobi yang aku sukai. Ditambah dengan kegiatan organisasi yang akan aku ikuti, sehingga dapat bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa dari luar universitas juga.
Untuk masa klinik, aku telah mengetahui bahwa masa tersebut adalah titik awal memasuki dunia klinis yang lebih nyata. Untuk preklinik, segalanya hanya berdasarkan teori yang berada dalam kondisi ideal, serta hanya termuat dalam bentuk tulisan saja. Namun saat memasuki masa klinik atau koas, aku akan mempelajari bagaimana cara menatalaksana pasien secara holistik. Selain itu aku tentu akan bertemu dengan kasus-kasus nyata yang sebelumnya hanya termuat dalam bentuk tulisan saja. Melalui masa klinik ini, aku akan belajar banyak hal-hal nyata yang baru, sehingga bisa memvisualisasikan bagaimana rasanya menjadi dokter pada bidang tertentu ke depannya. Oleh karena itu, aku berencana untuk menentukan arah atau stase yang akan aku spesialisasikan nanti berdasarkan pengalaman selama klinik. Melakukan trial and error selama masa klinik, dan mencari bidang yang paling nyaman dan cocok bagi aku. Selain itu, aku berencana untuk memperluas relasi yang mencakup para dokter spesialis yang hebat, sehingga dapat belajar jauh lebih luas lagi.
Pada akhirnya aku akan menjadi dokter, dan berharap agar aku sendiri dapat memiliki impact bagi masyarakat. Ikut serta dalam meningkatkan kualitas hidup serta kesejahteraan bagi masyarakat. aku turut berharap agar masyarakat sendiri semakin menyadari serta memahami pentingnya kesehatan. Karena kesehatan bukanlah suatu barang ataupun komoditas yang dapat dijual beli. Melainkan kesehatan adalah pemberian dari Tuhan yang harus dijaga oleh diri sendiri, maupun sesama di sekitar.
Bagi adik kelas yang sedang berjuang untuk masuk FKUI, persiapkanlah segala jalur ujian masuk FKUI dengan baik. Waktu tidak dapat dibeli begitu saja karena waktu hanya berjalan ke satu arah. Manfaatkan waktumu itu, jangan sampai penyesalan berhasil menyentuhmu di akhir nanti. Selain itu, pasanglah mindset bahwa FKUI bukan hanya sebatas tempat berkuliah yang bergengsi. Masih banyak universitas bergengsi lainnya yang kalian bisa coba perjuangkan. Karena bagi aku, FKUI adalah langkah awal menuju pengabdian profesi dokter yang berkualitas, juga sebagai wadah mengasah diri menjadi dokter yang luar biasa. Berhasil masuk ke FKUI bukan berarti waktunya untuk berhenti berjuang, dan merayakan achievement tersebut. Karena justru sebaliknya, great achievement comes with great responsibility.
Comments