top of page

Narasi Perjuangan - Kinanti Ayudia Pangastuti

  • Writer: FKUI 2022
    FKUI 2022
  • Aug 14, 2022
  • 8 min read

FKUI: A Journey of Dreams and Self-Love


Halo! Perkenalkan, nama saya Kinanti Ayudia Pangastuti. Biasanya, oleh teman-teman, saya dipanggil Kinan. Saya adalah salah satu lulusan SMAN 68 Jakarta tahun 2022. Empat bulan yang lalu, saya diberikan kesempatan untuk menemba ilmu yang lebih tinggi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia melewati jalur Talent Scouting.


Bagi banyak orang yang mengenal saya, FKUI bagi saya hanyalah mimpi yang terlalu tinggi untuk saya gapai. Kendati saya tidak pernah menyerah berjuang untuk mendapatkan yang terbaik, diterima masuk FKUI adalah, dan selalu, jadi angan-angan menyenangkan yang saya selalu lamunkan pada akhir hari ketika saya selesai sekolah. Jaket almamater kuning terang bersematkan makara hijau sudah sering berseliweran di laman media sosial saya. Kebanyakan dari mereka, adalah orang-orang yang saya selalu kagumi dari jauh. Berprestasi dan selalu unggul dalam apapun, mulai dari anggota OSIS hingga peraih olimpiade bergengsi. Di mata saya, mereka bak dewa. Tak tersentuh. Mustahil bagi orang seperti saya untuk bisa jadi seperti mereka.


Average Jane. Itulah saya. Tidak begitu berprestasi dan tidak begitu mencolok. Rata-rata. Standar. Selalu di tengah. Setidaknya itulah yang saya rasakan. Namun, orang-orang di lingkungan saya berharap hal-hal besar untuk saya. Saya dilahirkan di keluarga yang notabene berprofesi sebagai dokter, jadi mungkin wajar jika kebanyakan orang berasumsi bahwa saya pada akhirnya harus menjadi dokter juga. Namun, dalam hati kecil saya, saya selalu merasa tidak mampu. Saya tidak sepintar itu. Saya tidak sehebat itu. Apalagi untuk masuk sekolah orang-orang pilihan seperti FKUI.


Dibalik semua keraguan dan ketidakpercayaan diri itu, orangtua saya pun pada akhirnya menjadi motivasi utama saya untuk mengejar FKUI. Bukan, bukan karena tekanan keluarga. Bukan juga karena saya merasa perlu meneruskan perjuangan keluarga besar saya. Simpel dan mungkin klise, Ibu saya ingin saya bisa menolong orang-orang yang tidak seberuntung saya, terutama dalam hal kesehatan. Bukan tanpa alasan, karena sedari kecil, saya selalu sakit. Di umur yang belia, saya tidak lagi menangis karena disuntik infus karena saya sudah terbiasa. Di umur yang belia, terkadang saya menghabiskan sebagian waktu saya terbaring lemas di atas kasur. Di umur yang belia, bau disinfektan rumah sakit tidak lagi menganggu saya.


Pada umur itu, saya belum sadar bahwa tidak semua orang menerima hal yang sama seperti saya. Tidak semua orang dapat kesempatan untuk dirawat di rumah sakit, tidak semua orang punya sumber daya cukup untuk berobat. Saya merupakan satu dari sedikit orang yang bisa merasakan itu. Walaupun terlihat sederhana, saya sadar, privelese itu dapat menyelamatkan nyawa banyak orang. Orangtua saya berhasil menunjukkan itu ke saya. Bersyukur. Hargai yang ada. Ringankan beban orang lain jika mampu. Sedikit banyak, saya sadar saya tidak boleh menyia-nyiakan apa yang saya punya. Jika saya punya kesempatan dan privelese untuk berjuang menjadi seorang dokter, untuk membantu orang-orang yang tidak punya privelese, mengapa tidak?


Kisah perjuangan saya pun mulai dari tiga tahun lalu. Memasuki bangku SMA, saya dan orangtua saya mulai menyusun strategi untuk mencapai tujuan saya. Masuk FKUI. Mulai dari mencari beragam jalur masuk hingga les tambahan, saya bersemangat untuk berusaha sebisa mungkin demi memaksimalkan potensi saya. Optimisme yang membuncah, diiringi dengan semangat masuk jenjang sekolah baru untuk kedua kalinya membuat saya makin menggebu-gebu dalam memulai perjalanan saya mencapai FKUI. Namun, ternyata, SMA tidak sesimpel yang biasanya orang katakan. Saya perlu waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan, terutama lingkungan pertemanan dan culture shock yang melanda. Sepi secara konsisten menghampiri, membuat semangat saya sedikit meredup.


Akan tetapi, Tuhan Mahabaik. Dia mempertemukan saya dengan teman-teman hebat yang berjasa untuk saya. Maka dengan support dan doa dari orang-orang terdekat saya, terutama orang tua saya, saya berhasil melewati masa-masa berat saya pada awal masa SMA. Rintangan berikutnya adalah membangun momentum serta mempertahankan taraf akademis saya. Seperti yang diketahui, masuk FKUI tidaklah mudah. Perlu effort keras dan sedikit keajaiban dari semesta agar saya nantinya bisa lolos seleksi masuk. Sistem belajar yang sangat berbeda dari SMP membuat saya harus mengatur ulang cara belajar saya. Saya tidak lagi “disuapi” materi oleh guru seperti ketika SMP, saya kini harus proaktif dalam belajar, termasuk mencari sumber lain dalam mengulang materi pelajaran. Tidak mudah, memang, apalagi ketika saya harus merelakan waktu main saya untuk belajar. Terlebih pula, pada awal kelas sepuluh, saya sudah harus mengikuti dua les berlainan, yang tentunya menyita waktu saya.


Menginjak tahun kedua, saya mulai mendengar tentang SBMPTN dan desas desus betapa jalur undangan memiliki probabilitas yang acak. Belum tentu pintar dan nilai stabil jadi jaminan lolos SNMPTN. Ketika saya tahu betapa sulitnya soal-soal UTBK, saya mulai mencanangkan rencana kedua. Karena menurut saya probabilitas lolos SBMPTN lebih besar, saya pun mulai mencicil materi. Dengan fokus saya yang terpaksa saya bagi jadi dua, mempertahankan nilai akademis dan mencuri start UTBK, saya mulai khawatir fokus saya buyar. Seiring itu, kondisi mental saya pun ikut terpengaruhi. Imbasnya, saya merasa di tahun ini, saya banyak menangis dan merajuk. Saya merasa tidak adil karena saya harus bekerja begitu keras untuk mendapat apa yang saya mau, sedangkan teman-teman saya seolah-olah mendapatkannya dengan begitu mudah. Ditambah itu, saya seringkali bersikap egois kepada diri sendiri, termasuk menelantarkan kondisi kesehatan fisik dan mental saya demi mencapai apa yang saya mau.


Saya sadar saya berperilaku seperti anak kecil saat itu, tetapi tidak membutuhkan waktu lama agar saya sadar bahwa saya berperilaku terbalik dari tujuan awal saya, yaitu menjadi dokter yang mampu memberikan privelese kepada orang yang tidak mempunyainya. Dalam mencapai itu, saya harusnya lebih bersyukur atas apa yang saya punya. Semua orang dilahirkan berbeda, begitupula rezeki yang diberikan Tuhan. Ada orang yang memang diberikan kecerdasan, sehingga mudah untuk menggapai sesuatu. Ada juga orang yang seperti saya, yang perlu bekerja keras dua kali lipat untuk mencapai keinginannya. Namun, bukan berarti saya bisa berusaha melebihi kapasitas saya. Bagaimana saya menggunakan rezeki itu mencerminkan diri saya sekarang dan diri saya di masa depan.


Mengambil waktu sejenak, saya fokus kembali dalam rencana saya masuk fakultas kedokteran UI. Saya pun menemukan adanya program Kelas Khusus Internasional (KKI). Pikir saya, program gelar ganda berbasis bahasa inggris ini bisa jadi kesempatan terbesar saya masuk FKUI. Ditengah-tengah kesibukan yang terus melanda di tahun ketiga, saya pun berencana memanfaatkan kemampuan bahasa inggris saya yang cukup baik dalam strategi saya dengan melatihnya lebih lanjut. Buku-buku IELTS dan course tambahan di luar sekolah saya lahap hingga habis. Saya sempat ragu pada awalnya, karena mengambil program KKI berarti saya harus ekstra dalam belajar nantinya. Saya yakin atas kemampuan Bahasa inggris saya, tetapi saya tidak biasa menggunakannya dalam lingkungan akademik formal, apalagi saya hanya berasal dari sekolah negeri, bukan dari sekolah internasional. Kendati demikian, saya mencoba menguatkan niat dan menyemangati diri sendiri bahwa nantinya lelah saya akan sepadan.


Dengan beban tugas dan akademis yang kian banyak, belum lagi ujian praktek dan ujian sekolah, saya terkadang lupa untuk memperhatikan diri saya sendiri. Kondisi mental saya beberapa kali memburuk dan terkadang mudah sekali rasanya untuk menyerah saat itu juga. Berkali-kali saya merenung soal tepatnya keputusan saya dalam mengejar FKUI. Lebih banyak lagi saat saya merasa tidak bisa mengerjakan soal atau mendapat nilai yang tidak sesuai ekspektasi. Menjelang pendaftaran SNMPTN dan Talent Scouting, saya bertekad untuk mengesampingkan rasa takut yang terbersit. Hal ini bukan tanpa sebab tentunya, banyak siswa dengan nilai rata-rata diatas saya yang memilih FKUI, kesempatan saya mendekati nol untuk lulus undangan. Saya terus menerus meyakinkan diri sendiri bahwa jalur undangan adalah hadiah “bonus” dari Tuhan atas kesabaran dan jerih payah saya selama ini. Toh, masih banyak jalur yang masih bisa saya lalui. It’s not the end of the world.

Melihat ke belakang, dari saya yang sekarang, yang telah resmi menjadi mahasiswa FKUI, saya merasa bangga bisa melewati rintangan yang ada. Saya ingat ketika pengumuman Talent Scouting saya menangis. Saya menangis karena sadar bahwa tangisan malam-malam itu terbayar, sadar bahwa saya berhasil melampaui ketakutan terbesar saya. Menyerah. Namun, rintangan terberat dari semua itu adalah mengubah mindset saya. Seiring tahun berlalu, dan mendengarkan kisah-kisah beragam teman serta kenalan yang masuk UI, saya sadar bahwa UI bukan hanya dimiliki oleh orang unggul dan berprestasi, tapi bagi orang-orang yang mau berusaha juga. Saya selalu berpikir bahwa saya tidak spesial. Namun, sekarang, saya merasa saya spesial karena saya berani berusaha. Bagi saya achievement terbesar saya bukanlah medali emas atau plakat penghargaan, achievement terbesar saya adalah pembuktian diri saya kepada diri sendiri bahwa saya mampu melalui semua itu.


Sebelum masuk FKUI, saya adalah orang yang mudah menyepelekan diri sendiri, saya tidak percaya diri dan mudah merasa down. Untuk menunjang prinsip saya, yaitu rasa syukur, dalam menjadi dokter yang dapat memberi kepada yang tidak memiliki, saya mau menetapkan sebuah komitmen sederhana. Saya berkomitmen untuk lebih berusaha menghargai diri sendiri, semua effort kecil dan besar, setiap tangis dan keluhan, saya berkomitmen agar saya senantiasa merasa cukup dengan apa yang saya mampu kerjakan. Dari komitmen ini, saya memiliki harapan untuk lebih menyayangi diri saya sendiri selama perjalanan saya menjadi dokter di FKUI. Tidak patut jika saya ingin mempergunakan rezeki yang telah diberikan Tuhan untuk orang lain, tetapi menyia-nyiakan itu pada diri saya sendiri. Untuk angkatan saya, yang akan menemani perjalanan saya selama masa preklinik dan coass kedepan, saya berharap kami semua dapat dengan baik membersamai satu sama lain, saling peduli dan menopang. Karena saya yakin, rute yang akan kami lalui tidak mudah, dan satu hal yang saya pelajari selama ini adalah, sepi itu membunuh. Harusnya tidak ada orang yang perlu melalui semua ini sendirian, dan saya harap diantara angkatan kami tidak perlu ada yang mengalami itu.


Masih panjang jalan yang harus saya lalui, tetapi saya mempunyai beberapa rencana untuk masa preklinik di FKUI. Selain mendapatkan nilai yang baik dan memuaskan, saya ingin melatih kepercayaan diri saya dalam berorganisasi. Oleh karena itu, saya ingin sekali tergabung dalam CIMSA UI. Karena saya adalah mahasiswa program KKI, saya berencana untuk memilih Newcastle Upon Tyne University sebagai universitas mitra saat semester tujuh kelak. Pada tiga tahun kedepan, saya juga berharap bisa melatih kemampuan manajemen waktu dan emosi yang baik. Tidak hanya itu, saya berencana untuk mengikuti kompetisi ataupun lomba terkait scientific writing. Yang terpenting, rencana saya yang paling utama adalah belajar untuk konsisten. Konsistensi menurut saya, adalah hal yang krusial dalam perjalanan panjang menjadi seorang dokter.


Rencana jangka panjang saya yang paling penting sebagi seorang dokter nantinya adalah senantiasa untuk mengobati sesama atas dasar kemanusiaan, bukan materi. Memasuki jenjang coass hingga akhirnya resmi jadi dokter umum, saya telah mempunyai rencana untuk masa internship di pedalaman. Outcome yang saya harapkan adalah meningkatnya rasa empati dalam melayani pasien, sehingga saya bisa lebih maksimal dalam mengobati pasien saat saya praktek sebagai dokter umum kelak. Saat saya sudah lulus dokter umum, untuk saat ini saya sangat tertarik untuk mengambil Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) sebagai spesialis bedah thoraks atau bedah onkologi.


Kenapa spesialis bedah? Diharapkan, saya dapat menggunakan ilmu tersebut untuk masyarakat luas yang kurang beruntung untuk merasakannya. Saya hanya berharap masyarakat di seluruh pelosok dapat senantiasa menerima dan menggunakan fasilitas kesehatan yang layak. Selain itu saya punya harapan agar masyarakat dapat terus memperjuangkan hak mereka untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai, terlepas dari sumber daya yang mereka punya. Terakhir, saya berharap masyarakat dapat belajar sedikit demi sedikit mengenai pola hidup sehat sejak dini. Saya percaya sehat tidak perlu mahal, dokter ada sebagai garda terakhir jika masyarakat tak bisa memenuhi pola sehat tersebut. Namun, penting untuk kita semua pahami bahwa tiap orang dilahirkan dengan keadaan yang berbeda-beda, oleh karena itu saya pun juga percaya bahwa profesi dokter ada untuk hal tersebut.


Untuk kalian yang membaca narasi panjang ini, yang juga berkeinginan untuk masuk FKUI. Pertama, jangan andalkan jalur undangan. Tentu, agak munafik saya memberi saran semacam itu, melihat saya lolos jalur undangan Talent Scouting. Namun, saya nyatanya tetap memaksa diri untuk membagi fokus menjadi dua. Meningkatkan nilai raport dan mencicil materi UTBK. Atur jadwal sekolah, les, dan belajar, secara teratur. Fokus pada konsistensi kalian belajar setiap harinya, bukan seberapa banyak kalian bisa belajar dalam satu hari. Dengan begitu, beban kalian tidak akan begitu berat. Selain itu, dengan tidak mengandalkan jalur undangan, kalian bisa menjaga taraf emosi kalian menjadi lebih stabil. Tidak perlu ada pengharapan atau kekecewaan parah yang dapat menghambat jalur perjuangan kalian.


Kedua, mempunyai support system itu perlu. Krusial kalau berani saya bilang. Tentu, saingan kalian merupakan ribuan siswa lainnya dari pelosok negeri, bahkan bisa jadi teman sebangku kalian menginginkan hal yang sama. Akan tetapi, bukan berarti kalian tidak bisa bersaing dengan sehat. Musuh kalian dalam berjuang itu bukan orang lain, tapi diri sendiri. Perjalanan yang kalian tempuh tak akan bermakna jika kalian tidak bisa melawan ego sendiri. Support system bisa siapa saja, orangtua, teman, kerabat, bahkan hewan peliharaan. Temukan sesuatu atau seseorang yang membuatmu tetap berpikir jernih dan senantiasa mengingatkanmu untuk menikmati hal-hal kecil dalam hidup.


Terakhir, jangan patah semangat. Sebanyak apapun kalian meragukan diri sendiri, jangan pernah biarkan pikiran itu jadi kenyataan. Rintangan dalam perjalanan kalian bukanlah teman-teman seperjuangan kalian, melainkan pikiran dan ego kalian. Buktikan kepada diri sendiri kalau jalan yang kalian pilih saat ini sudah tepat, Kalian tidak perlu jadi orang berbakat atau genius untuk masuk FKUI, kalian hanya perlu memiliki daya juang yang sedikit lebih ekstra dibandingkan orang lain. Akhir kata, saya harap besok pagi saya masih punya semangat menggebu yang sama ketika memulai perjalanan ini, semangat untuk menjadi versi diri yang lebih baik tiap harinya.


 
 
 

Recent Posts

See All

Comments


Find Us On!

  • Instagram
  • Twitter
  • Youtube

© 2022 FKUI Brilian

bottom of page