top of page

Narasi Perjuangan - Kanya Putri Ayudia

  • Writer: FKUI 2022
    FKUI 2022
  • Aug 14, 2022
  • 8 min read

Updated: Aug 15, 2022

Penghijauan Makara Setengah Hijau


Salam! Saya Kanya Putri Ayudia, teman dan orang sekitar biasa memanggil saya Kanya. Saya merupakan alumni angkatan kesepuluh SMAN Unggulan MH. Thamrin Jakarta, Dekarasha Metaraskaya. Saya diberi kesempatan untuk menimba ilmu di di FKUI kelas reguler melalui Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri, SBMPTN, 2022 kemarin.

Sejak dulu, FKUI sudah digadang-gadang sebagai tempat menimba ilmu yang prestisius, terlihat dari seleksi masuk yang sangat ketat pada berbagai macam jalur serta lulusan yang terkemuka. Saya meyakini setiap orang yang berhasil lolos seleksi FKUI tidak hanya pintar, namun cerdas serta memiliki pemikiran yang out of the box. Oleh karena itu, FKUI terdengar sulit digapai, namun jiwa realistis saya belum tumbuh. Selalu ada rasa yakin jika suatu saat nanti, saya akan menjadi bagian dari FKUI.

Sebenarnya, dahulu pemikiran saya sangat sempit. Sewajarnya seorang siswi sekolah dasar yang tidak mengetahui banyak tentang dunia perkuliahan, saya hanya mengetahui sedikit jurusan di universitas, yaitu teknik, hukum, ekonomi, dan kedokteran. Kala itu, saya berpikir hanyalah Fakultas Kedokteran yang terlihat ‘keren’. Sesempit itu, berangan-angan menjadi dokter karena terlihat hebat.

Masih saya ingat dengan jelas, suatu malam saya menonton televisi yang memberitakan tentang konflik perang. Banyak anak-anak seumuran yang terluka. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya di posisi itu, tersandung sedikit saja sudah merengek. Sejak itu, bertambahlah alasan saya untuk menjadi dokter. Alasan klasik yang didengar dari banyak mahasiswa kedokteran. Rasa empati yang timbul untuk membantu sesama agar dapat merasa nyaman. Jika dikatakan banyak profesi lain yang dapat membantu sesama untuk mencapai rasa nyaman, pikiran kecil saya tetap memilih ‘dokter’ karena arti nyaman menurut saya adalah tidak terasa sakit.

Singkat cerita, pemikiran-pemikiran idealis saya mulai terkikis ketika masuk SMA. Entah mujur atau sial, saya diterima di SMAN Unggulan MH. Thamrin. Yang tidak saya tahu; kemujuran saya untuk tiga tahun kedepan telah saya habiskan. Ketika SD dan SMP, untuk mendapatkan nilai sempurna atau menjadi juara kelas bukanlah hal yang mustahil untuk digapai. Namun, ketika SMA, bahkan untuk sekadar mendapat nilai 80 dibutuhkan usaha yang ekstra. Bagaimana tidak, satu bab materi pembelajaran dihabiskan dalam empat jam pertemuan, kemudian di hari selanjutnya, dilaksanakan evaluasi belajar. Harapan awal saya ketika masuk SMA untuk mendapatkan golden ticket FKUI pun pupus, beban akademis yang berat dan beberapa hal yang tidak dapat disebutkan, membuat saya yakin jika tidak akan ada kesempatan untuk lolos FKUI melalui SNMPTN.

Puncaknya adalah semester dua, demotivasi habis-habisan. Berbekal menerapkan sistem kebut semalam—yang sudah pasti gagal—di setiap ujian. Benar saja, penopanglah yang saya dapatkan. Tidak kaget, mengingat kultur belajar yang diterapkan. Akan tetapi, rasa kecewa dan kecil hati tetap saya rasakan. Ditambah lagi, adanya pernyataan jika FKUI bukanlah hal yang realistis untuk digapai dari seseorang.

Tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, di kelas 11 saya merombak cara berpikir. Salah satunya dengan menaruh effort lebih di setiap mata pelajaran, mengingat ada kurikulum baru, Cambridge, yang mulai diterapkan. Toh tidak ada yang salah dari untuk belajar lebih giat walaupun tidak mendapat tiket SNMPTN. Tak hanya pada sisi akademis saja, saya berusaha untuk step up the game dengan mengikuti organisasi dan mencoba divisi lain di kepanitiaan. Semua terkesan berhasil dari luar, nilai saya mulai naik dan organisasi serta kepanitiaan berjalan lancar.

Nyatanya, hampir 70% rencana di kelas 11 kacau karena belum yakinnya saya terhadap segala hal. Tentunya saya membutuhkan wadah untuk meluapkan emosi. Tak jarang saya dan beberapa teman lain pergi ke lapangan hijau sekolah untuk berteriak, menumpahkan segala emosi yang terakumulasi, atau sekadar berenang di kolam renang sekolah untuk memperbaiki keruwetan pikiran. Rasanya ketika sudah bertemu air kolam, seluruh emosi luruh dan hanya ada tawa canda.

Mengenal banyak hal baru di kelas 11, keinginan untuk masuk FKUI luntur perlahan-lahan. Sadar kalau alasan menjadi dokter masih terlalu abstrak. Ditambah adanya perasaan-tidak-sanggup menjalani perjalanan panjang nan berat menjadi seorang dokter. Saya yakin kemunculan keraguan-keraguan ini berasal dari kegagalan serta hal-hal yang tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi sepanjang kelas 11.

Di tengah-tengah lunturnya ambisi FKUI, sekolah elektro Kampus Gajah datang seperti angin segar yang mengembuskan harap, belum sadar jika matematika bukanlah hal yang menyenangkan. Oleng sepenuhnya, hampir tidak ada keinginan untuk melanjutkan studi di FKUI. Tekat pun semakin bulat setelah mengunjungi Kampus Biru Bandung di akhir semester tiga. Akhirnya, saya dapat menjawab ‘Biomedis Kampus Gajah!’ dengan lantang, ketika ditanya ingin melangkah ke mana.

Mulai kembali tertampar realita bahwa matematika tidak indah—setidaknya untuk saya. Sepanjang semester lima, persentase skor try out subtes matematika saya di bimbel, tidak pernah melampaui 50%. Hati yang tadinya bulat dan percaya diri, menjadi minder dan kecil. Desember 2020, saya memikirkan ulang apa yang sebenarnya ingin saya lakukan di masa mendatang? Apa hanya sebatas menggapai kebahagiaan pribadi? Saya tidak secemerlang itu untuk membuat suatu invention yang dapat berdampak untuk orang lain. Sangat besar kemungkinan saya akan menjadi seseorang yang hanya bekerja di bawah kepemimpinan orang lain dan hanya mendapatkan kepuasan pribadi, terlalu money oriented.

Terpikirkan kembali hal-hal kecil yang dilakukan dokter sedikit banyak memiliki dampak kepada orang lain. Rasa empati yang diberikan serta pemenuhan pelayanan dan kenyamanan bagi pasien terlihat kecil, namun berdampak. Alasannya sangat terdengar naif, tak jarang orang berpendapat, “kalau hanya ingin memberi empati dan menolong sesama, dari profesi apapun juga bisa!” Namun, menurut saya pribadi, dokter dapat memberi dampak langsung yang lebih besar melebihi persepsi-persepsi orang banyak. Salah satu contoh nyata kegigihan perjuangan dokter adalah dr. Lie Dharmawan, sang penggagas Rumah Sakit Apung. Rumah sakit yang didirikan untuk membantu pengembangan kesehatan di daerah 3T, terdepan, terpencil, terisolir.1

Kegalauan panjang pun berakhir, pilihan sudah mantap, FKUI adalah tempat yang saya ekspektasikan, saya dambakan, dan saya yakini untuk melanjutkan studi. Namun, kesalahan yang cukup fatal dalam kultur belajar saya sepanjang awal 2021 hingga UTBK 2021, menyebabkan kegagalan pertama menggapai FKUI. Saya terlalu memfokuskan di apa yang saya tidak bisa, Fisika dan Matematika, namun lupa untuk mengembangkan pengetahuan di keilmuan yang seharusnya menjadi prioritas. Saya sangat amat bersyukur, masih mendapatkan kata selamat dari LTMPT, Kampus Gajah, dan Universitas Indonesia, namun tidak dari Fakultas Kedokteran, Pendidikan Dokter, maupun Kedokteran. Tentu ada sedikit rasa kecewa terhadap diri sendiri yang tidak dapat saya sembunyikan.

Setelah pertimbangan (singkat), saya memutuskan untuk melanjutkan studi sementara di Universitas Indonesia jurusan Farmasi. Ya, sementara, keinginan untuk menjadi dokter masih menggebu-gebu dan tidak pernah surut selama satu tahun kemarin. Ikhlas atau menerima nasib apa adanya, tetap saya usahakan setiap hari.

Namun, semakin dipaksa menerima keadaan, semakin tidak ada alasan yang tersisa untuk tetap berjuang menjadi drug specialist. Di semester satu masih ada rasa senang di hati karena banyak mata kuliah Rumpun Ilmu Kesehatan yang dipelajari juga di Pendidikan Dokter. Namun, mata kuliah lain hanya dijalani semata-mata untuk mendapatkan nilai. Rasanya sangat sulit untuk menemukan esensi belajar seluruh mata kuliah tersebut.

Semester dua, merupakan titik balik segala hal. Rasa frustrasi, tidak nyaman, ingin pindah, air mata, dengan setitik kebahagiaan yang saya dapat dari teman, menggandrungi pikiran. Saat itu saya berpikir tidak ada alasan menahan diri untuk pindah jurusan, kecuali teman-teman yang saya miliki. Ditambah lagi, tidak ada ketertarikan untuk berorganisasi di jurusan yang lama. Tekad untuk berpindah tetap sebulat bola.

Selalu harus ada yang dikorbankan jika menginginkan sesuatu yang besar. Saya kurang memperhatikan kelas, terkesan merugikan diri sendiri karena saya belum tentu lolos seleksi pula. Sepanjang semester dua perkuliahan, saya belajar ulang untuk UTBK, namun kini saya hadir dengan strategi. Memperkuat Kimia, Biologi, serta Tes Skolastik, sedikit mengabaikan mata ujian lain karena sempitnya waktu dan kesempatan. Tidak ada bimbingan dari siapapun lagi, hanya bermodal soal-soal bimbel tahun sebelumnya dan menonton video pembahasan materi. Tentunya hal ini membuat saya minder, mengingat pejuang lain memiliki resources yang lebih mumpuni. Namun, ibu, ayah, Ica, dan teman sekitar tetap meyakinkan jika saya akan lolos di percobaan kali ini.

Ketika hari-hari UTBK diumumkan, saya kebingungan hebat karena beberapa hari UTBK bentrok dengan UAS. Selang dua hari pendaftaran dibuka, saya mendaftar UTBK demi mendapat hari-hari awal agar tidak bertabrakan dengan UAS. Kata yang dapat menggambarkan keadaan saya kala itu adalah emosional. Rasanya campur aduk harus melewati rangkaian UTBK/SBMPTN lagi untuk yang kedua kalinya. Pada UTBK kali ini, saya hanya mencantumkan Pendidikan Dokter di kedua slot pilihan. Berlandaskan ide jika saya tetap akan menjadi dokter di manapun nantinya saya diterima.

Puncak kefrustrasian terjadi ketika UTBK yang hanya berjarak seminggu dengan UAS, saya tidak memperhatikan kelas selama semester dua ini, bagaimana cara untuk mendapatkan nilai cukup? Namun, saya percaya, semua ini hanya perlu dijalani, tidak usah dipikirkan berlarut-larut. Setelah selesai dengan urusan UTBK, saya kembali mempelajari materi-materi untuk UAS. Tentunya sangat melelahkan, baik secara fisik maupun mental. Akan tetapi, inilah salah satu perjuangan demi mendapatkan makara hijau.

Usaha serta doa yang kuat dari ibu dan ayah serta orang di sekitar saya membuahkan hasil yang indah. Kata selamat dari LTMPT datang kembali pada tanggal 23 Juni 2022 silam. Saya hanya melihat sekilas angka 321, kode Universitas Indonesia. Tanpa membaca lebih lanjut, saya tahu bahwa saya lolos di Pendidikan Dokter Universitas Indonesia! Hal yang sudah ditunggu selama bertahun-tahun—termasuk masa kecil—pun terjadi.

Tidak ada kata yang dapat menggambarkan emosi saya kala itu. Naik dan turun kehidupan belakangan ini seakan terbayar lunas, tak ada sisa. Itulah sekilas perjalanan untuk mendapatkan FKUI, tidak semua dapat saya paparkan di sini karena ingin menyisakan sedikit memori perjuangan untuk diri sendiri.

Mengingat perjuangan saya yang cukup panjang untuk sampai di titik ini, saya bertekad untuk tidak merusak perjuangan tersebut, salah satu caranya adalah memiliki komitmen. Komitmen untuk belajar sepenuh hati demi menjadi dokter yang baik, komitmen untuk ikhlas dan tidak mengedepankan keuntungan pribadi, dan komitmen untuk tidak hilang arah ketika menjadi dokter. Setiap orang yang membaca narasi perjuangan ini menjadi saksi komitmen saya, jika ada kekeliruan kedepannya, mohon ingatkan saya untuk tetap memegang teguh komitmen yang telah saya deklarasikan.

Sebagian harapan untuk diri sendiri sudah dituangkan bersama dengan komitmen yang telah saya sampaikan di atas. Tambahan untuk pribadi, semoga rasa kecil hati, rasa inferior, segera hilang, ya, Kanya. Tetap semangat untuk mengembangkan diri melalui organisasi atau kepanitiaan, mungkin magang jika ada kesempatan.

Untuk angkatan FKUI 2022, Brilian, saya harap kita dapat memegang teguh rasa tenggang rasa satu sama lain. Tidak perlu menjadi angkatan yang terbaik atau tersolid di antara angkatan lain, cukup menjadi angkatan yang dapat menjadi rumah, berbagi kenyamanan, kebahagiaan, bahkan kesedihan. Semoga FKUI 2022, Brilian, menjadi rumah ketiga saya, setelah keluarga dan Dekarasha Metaraskaya. Kobarkan semangat perjuangan, kawan-kawan sejawat!

Melanjutkan dua paragraf sebelumnya, untuk mencapai harapan serta komitmen yang ingin saya realisasikan, tentunya harus ada kerja nyata berbasis rencana. Mungkin saat pertama kali menjadi mahasiswa baru tahun lalu, jika ditanya apa rencana kedepannya selama perkuliahan, saya menjawab; Ingin menjadi mapres! Ingin IPK tinggi! Kalau boleh jujur, keinginan idealis tetap hidup dalam diri saya, tidak pernah mati. Namun, kali ini, rencana jangka pendek saya sepanjang masa preklinik adalah belajar sepenuh hati, tidak menutup pintu-pintu kesempatan untuk mengembangkan soft skills, menjadi teman yang dapat diandalkan, lulus tepat waktu, serta satu keinginan idealis, yaitu berdampak bagi masyarakat melalui organisasi, proyek kemanusiaan, atau apapun itu bentuknya.

Rencana selanjutnya ketika klinik adalah memberikan yang terbaik serta belajar sebanyak-banyaknya dari para dokter konsulen, pasien, dan rekan sejawat lainnya. Mengumpulkan ilmu sebanyak-banyaknya untuk mempersiapkan menjadi dokter yang tidak hanya baik, tetapi ikhlas, tidak hilang arah, dan dapat menjalani segala kegiatan kedokteran sebaik-baiknya. Membantu mengobati siapa saja tidak memandang latar belakang, keadaan ekonomi, preferensi pribadi, dan keberagaman lain. Berlandaskan ikrar sumpah dokter, “Demi Allah saya bersumpah, saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan,…”2 Jika diberi kesempatan, saya ingin membantu masyarakat daerah tertinggal untuk mendapatkan kesejahteraan kesehatan yang sama dengan masyarakat perkotaan.

Ada beberapa harapan saya untuk masyarakat terkait kesehatan. Saya berharap masyarakat lebih waspada terhadap kesehatan dirinya sendiri karena tidak ada orang yang lebih mengerti ketidaknyamanan pribadi selain diri sendiri. Mengingat kesejahteraan kesehatan masyarakat Indonesia masih cukup rendah dengan salah satu tantangannya adalah Penyakit Tidak Menular atau PTM.3 Diet makanan masyarakat Indonesia yang tinggi akan garam, rendah serat, tinggi kalori dan diikuti dengan gaya hidup sedenter, menyumbang angka besar atas rendahnya kesejahteraan kesehatan masyarakat Indonesia.3 Semoga masyarakat dan pemerintah serta kawan sejawat praktisi kesehatan dapat bersama-sama meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan menangani masalah ini dengan lebih serius.

Segala harapan telah saya sampaikan, untuk diri sendiri, FKUI 2022, sampai masyarakat luas. Terakhir, untuk teman-teman pejuang FKUI, taruh mimpi setinggi-tingginya. Jangan pernah takut karena mimpi merupakan salah satu alat bantu agar hidup menjadi lebih terarah. Bulatkan tekad yang kalian miliki, jangan mudah terpengaruh dengan lingkungan sekitar. Jangan lupa untuk menyusun strategi dan fokus dengan kemampuan diri sendiri, tidak usah memikirkan kemampuan orang lain bahkan membandingkan diri sendiri dengan orang lain, tidak sehat, tidak ada ujungnya, dan tidak akan puas.

Jangan pernah menyerah setelah menghadapi suatu kegagalan. Kegagalan adalah proses, kata-kata itu bukanlah sekadar bualan semata, namun sebuah kenyataan yang benar adanya. Tidak perlu khawatir dalam menghadapi kegagalan bertubi-tubi, anggap saja sedang menghabiskan slot gagal. Tak selamanya gagal berarti tidak baik, akan selalu ada pelajaran yang dapat dipetik dari kegagalan.

Tetap jalani apa yang ada di depan mata dan jangan lupa bermimpi, salam!


Referensi

  1. Tim Media doctorSHARE. RSA dr Lie Dharmawan karam: semangat tak pernah padam [Internet]. Indonesia: doctorSHARE; 2021 June 17 [cited 2022 Aug 13]. Available from: https://www.doctorshare.org/2021/06/17/4199/rsa-dr-lie-dharmawan-karam-semangat-tak-pernah-padam.html.

  2. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Kode etik kedokteran Indonesia. Indonesia: Ikatan Dokter Indonesia; 2012. Penjelasan kode etik kedokteran indonesia; p.7.

  3. Purwanto B. Masalah dan tantangan kesehatan Indonesia saat ini [Internet]. Indonesia: Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI; 2022 Mar 15 [cited 2022 Aug 13]. Available from https://kesmas.kemkes.go.id/konten/133/0/masalah-dan-tantangan-kesehatan-indonesia-saat-ini


 
 
 

Recent Posts

See All

Comments


Find Us On!

  • Instagram
  • Twitter
  • Youtube

© 2022 FKUI Brilian

bottom of page