top of page
Search

Narasi Perjuangan - Ivana Trixie Odelia Tirany

  • Writer: FKUI 2022
    FKUI 2022
  • Aug 14, 2022
  • 13 min read

Updated: Aug 15, 2022

Part I : Prolog


Nama saya Ivana Trixie Odelia Tirany dan saya adalah seorang mahasiswi baru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang sedang menjalani PKKMB—atau lebih familiar dengan sebutan ospek. Puji Tuhan saya bisa masuk FK UI program regular melalui jalur SIMAK. 


Sebelumnya saya tidak tepikirkan untuk bisa diterima di fakultas yang terkenal sulit dimasuki di kampus paling top se-Indonesia. Setelah melalui gagal berkali-kali dan memasuki fase gap year, saya baru bisa mengatakan bahwa memasuki fakultas ini—khususnya di UI—bukanlah proses yang mudah. Banyak orang seperti saya yang harus jatuh bangun berkali-kali baru bisa diterima. 


Saat diterima memang rasanya luar biasa sekali, semua orang berekspektasi banyak pada mereka yang diterima di FK UI ini. Bahwa kami pintar dan bahkan bisa dibilang jenius. Saya baru memasuki masa PKKMB saja sudah merasakan tekanan yang cukup. Entah ekspektasi dari keluarga yang tentunya mengharapkan saya bisa mendapatkan IP yang memuaskan serta lulus tepat waktu. Entah tekanan dari orang-orang di sekitar yang menganggap saya sebenarnya beruntung bukan karena murni usaha saya sendiri. 


Sesungguhnya saya tidak mungkin bisa masuk FK UI kalau bukan orang tua saya yang mendukung, menyekolahkan, mendorong saya untuk menggapai cita-cita saya. Dahulu mama saya yang paling ingin saya masuk ke kedokteran mengikuti jejak papa, terlebih lagi mama mengatakan, “kalau bisa di UI”. Tentu cita-cita itu menular ke saya. Saya merasa terpacu dan tertantang untuk bisa masuk fakultas bergengsi di universitas yang bergengsi juga. 


Part II : Perjuangan Masuk FK UI dari SD-SMP-SMA-Sekarang


Kita mulai dari waktu saya SD. Selama duduk di bangku SD, saya hanya murid yang biasa-biasa saja, tidak terlalu pintar. Saya hanya pernah ranking 1 waktu kelas 5, sisanya 5-10 besar. 


Waktu SD ekskul favorit saya adalah Marching Band. Jadi di SD saya, ada dua ekskul wajib yang diikuti semua murid, Pramuka dan Marching Band. Para murid boleh memilih antara dua itu. Saya lebih suka “bermain-main” dengan alat musik di Marching Band ketimbang belajar tali-temali di Pramuka. Marching Band SD saya beberapa kali diundang ke TMII untuk parade, pernah juga juara 3 ketika mengikuti lomba di Monumen Lubang Buaya. 


Semasa SD saya juga bukan anak yang aktif berlomba, sesekali saya ditunjuk untuk menjadi perwakilan kelas atau sekolah. Waktu kelas 5 saya pernah meraih juara 1 lomba pemazmur yang diadakan pada BKSN (Bulan Kitab Suci Nasional) dan waktu kelas 4 menjadi perwakilan sekolah ikut Calbe Junior Science Fair walaupun tidak masuk peringkat yang tinggi.


Cita-cita menjadi dokter sebenarnya belum terbesit di benak saya waktu itu, dan cita-cita saya seringkali berganti. Mulai dari pilot, penulis novel, sampai detektif pun terpikirkan di otak saya. Saya baru mulai terpikir untuk menjadi dokter ketika SMP.


SD dan SMP saya masih dalam satu yayasan dan satu kawasan sehingga saya tidak perlu repot-repot mencari sekolah baru. Di SMP saya, tiap angkatan dibagi ke dalam tiga kelas berdasarkan nilai rapor dan peringkat di kelas. Waktu pertama kali masuk kami dibagi berdasarkan peringkat tes masuk. Saya sendiri mendapat peringkat 8 sehingga ditempatkan di kelas “unggul”, walaupun sehari sebelumnya saya tidak belajar sama sekali, karena tidak tahu harus belajar apa.


Sejujurnya saya kurang suka pembagian kelas seperti ini, tapi ternyata dalam implementasi sehari-hari tidak terasa bedanya. Kami tetap bergaul seperti biasa, guru-guru kami juga tidak membedakan kami, atau mungkin berbeda sedikit cara mengajarnya. Karena hal ini juga, tiap tahun teman sekelas kami sama terus, kadang hanya bertambah atau berkurang satu orang. Bahkan satu angkatan kami tidak mencapai 100 orang tiap tahunnya. Hal ini justru mengasyikkan karena saya jadi familiar bahkan hapal dengan banyak—tidak semua—anak di SMP saya. 


Waktu pendaftaran OSIS dibuka, hampir semua anak kelas 7 angkatan saya antusias sekali. Namanya juga baru pertama kali ikut berorganisasi, hal baru seperti ini mudah menjadi magnet untuk anak-anak baru. Saya pun mencoba mengikuti seleksinya karena saya ingin masuk Seksi Mading. Sayangnya saya gagal di tahap terakhir, yaitu wawancara. Wawancara itu merupakan wawancara perdana dalam hidup saya, ditambah lagi pewawancaranya adalah kepala sekolah, otomatis saya gelagapan waktu menjawab pertanyaan yang diajukan. Sedih rasanya, tapi waktu seleksi OSIS dibuka lagi ketika kelas 8, saya tidak ingin mencoba lagi karena ada sedikit rasa kesal dalam hati. 


Walau tidak terlalu pintar, kemampuan Bahasa Inggris saya yang lumayan mumpuni adalah hal yang saya banggakan. Bahkan guru saya mengatakan saya seperti native speaker. Jadi saya ditunjuk untuk menjadi perwakilan sekolah mengikuti lomba Storytelling yang diadakan SMAK Penabur 7 Jakarta. Biasanya ada satu anak di kelas saya—dia selalu juara satu dan sering ikut lomba—untuk ditunjuk mengikuti lomba seperti ini, tapi dia sudah ikut lomba lain yang waktunya bertabrakan dengan lomba tersebut, sehingga saya yang menjadi kandidat berikutnya. 


Waktu persiapan saya hanya sekitar 3-4 hari dan beberapa kali saya harus tidak masuk kelas untuk latihan. Saya sebenarnya anak yang cukup pemalu sehingga saat harus “berakting” untuk menarasikan cerita yang saya bawakan, rasanya kaku sekali. Selain saya, masih ada satu kakak kelas yang biasanya dia juga yang ditunjuk lomba bersama anak dari kelas saya yang saya ceritakan tadi. Kakak kelas saya ini jauh lebih luwes dari saya dan saya yakin dia pasti juara satu. Terbukti, dia juara satu dan saya tidak juara sama sekali. Tapi saya mendapat pengalaman berharga, itu saja sudah cukup.


Memasuki kelas 9, pembicaraan saya dan teman-teman saya sering merujuk pada topik seperti, “elu mau masuk SMA mana?” atau “cita-citanya mau jadi apa?” atau “SMA negeri atau swasta ya?” atau “Universitas ini bagus nggak, sih?”. Topik ini juga pernah diungkit oleh guru Fisika saya. Beliau mengatakan anak perempuan pertamanya saat itu sedang menempuh pendidikan sarjana di suatu perguruan tinggi swasta untuk menjadi dokter. Ketika ditanya kenapa ingin jadi dokter, anaknya menjawab karena jadi dokter tidak perlu pintar fisika, lucunya ibunya adalah seorang guru Fisika. 


Saya berpikir iya juga kenapa ya tidak dari awal saya tidak terpikir jadi dokter? Padahal di keluarga besar saya ada dua dokter. Papa saya dan Om saya, kakaknya mama. Suka biologi, iya, tidak suka fisika, iya, cocok sekali dong, buat saya. Menjelang UN pun, mama saya menyatakan keinginannya untuk saya menjadi dokter, dengan cara masuk universitas negeri yang bagus, kelak saya akan menjadi dokter. Ternyata, ada kakak sepupu saya yang berhasil masuk Fakultas Hukum di Universitas Indonesia melalui jalur SNMPTN, dan mama sendiri ingin anaknya bisa masuk UI juga. Begitu harapan mama pada saya, yang saya iyakan saja karena saya belum terlalu mengerti tentang perkuliahan dan jalur masuknya.


Masa-masa UN tiba, saya belajar mandiri tanpa les, tidak seperti anak-anak kebanyakan. Saya tidak terlalu merasa perlu les, orang tua saya juga tidak memaksa. Sebagai gantinya saya beli banyak buku-buku tebal untuk menunjang belajar saya, pernah juga belajar kelompok bersama 3 orang teman saya dan dibimbing guru Fisika kami secara gratis. Hasilnya nilai UN saya pun lumayan tinggi walau tidak masuk 10 besar. 


Sebelum UN, kami murid-murid kelas 9 sudah mulai mengikuti banyak tes masuk SMA, khususnya swasta. Saya pun mengikuti dua tes masuk, di SMAK Penabur 7 Jakarta dan SMA Marsudirini Bekasi. Di Penabur, saya sudah diterima dan masuk grade B jurusan IPA. Di Marsudirini, saya juga diterima di jurusan IPA. Saya tidak bisa memutuskan mau masuk kemana karena dua-duanya bagus, jadi keputusan saya serahkan kepada orangtua saya. Pada akhirnya mereka menyekolahkan saya ke Marsudirini.


Di SMA inilah baru saya mulai mencoba-coba lebih aktif di kelas dan menjaga nilai rapor saya agar stabil. Pada awalnya rencana saya berjalan lancar, saya mendapat peringkat dua di dua semester berturut-turut. Saya mencoba ikut olimpiade untuk pertama kalinya walaupun tidak lolos seleksi awal. Olimpiade yang pertama kali saya ikuti adalah National Olympiad of Chemical Engineering (NOPEC) bersama seorang teman saya dan sayangnya kami gagal masuk semifinal. Olimpiade berikutnya yang saya ikuti adalah Olimpiade Sains Nasional (OSN)—sekarang namanya berganti menjadi Kompetisi Sains Nasional (KSN)—cabang astronomi dan lagi, saya hanya sampai tingkat kota saja.


Selama tiga tahun SMA, saya mengikuti ekskul paduan suara, ditambah PMR ketika kelas 11. Saya lebih menyukai ekskul paduan suara dibanding PMR karena kebersamaannya terasa sekali antar anggota, bahkan relasi pertemanan saya meningkat semenjak ikut paduan suara. Paduan suara sekolah kami beberapa kali menjuarai lomba sebelum angkatan saya bergabung dan saat angkatan saya bergabung, prestasinya bertambah dengan mempertahankan gelar juara 2 di Festival Paduan Suara Gerejani se-Keuskupan Agung Jakarta. 


Di kelas 11, semangat belajarnya saya menurun karena satu dua hal yang tidak bisa saya sebutkan. Tapi saya menjadi lebih aktif di luar kelas dengan mengikuti beberapa lomba. Setelah bergabung dengan PMR, saya ditunjuk untuk mengikuti seleksi tingkat kota Bekasi untuk menjadi perwakilan di Jumpa Bakti gembira PMR-PMI September 2019. Setelah lulus seleksi, saya mengikuti pelatihan selama seminggu, kemudian saya dan perwakilan lainnya mengikuti Jumbara selama seminggu di Sumedang. Kami membawa pulang prestasi berupa beberapa predikat seperti Kontingen Terbaik II se-Jawa Barat, Kontingen Terkece I se-Jawa Barat, dan saya pribadi menyumbang predikat Donor Darah Terbaik I. 


Selain PMR, saya mencoba mengembangkan kemampuan debat Bahasa Inggris dengan mengikuti EXELCIOR SMAK Penabur 5 Jakarta cabang debat Bahasa Inggris bersama dua teman saya lainnya. Pada babak penyisihan kami hanya mampu memenangkan 1 dari 3 ronde, sehingga kami belum berhasil melanjutkan ke babak selanjutnya. 


Dari langkah kecil ini, saya termotivasi untuk mengikuti lomba berbahasa Inggris lainnya. Saya mencari tim baru setelah anggota tim saya yang lainnya mengundurkan diri karena ingin fokus untuk persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Saat itu saya sudah kelas 12, tapi saya masih memiliki semangat untuk mengejar satu atau dua prestasi yang bisa menunjang nilai rapor saya ketika mengikuti SNMPTN. 


Setelah berhasil menyusun tim, kami mengikuti dua lomba sebelum saya mulai disibukkan dengan ujian sekolah dan persiapan SNMPTN. Yang pertama di SMAK 1 Penabur Jakarta, kami diundang berpartisipasi setelah kemarin saya berkenalan dengan tim debat dari sekolah tersebut. Hasilnya sama, kami tidak berhasil lanjut ke babak selanjutnya, karena hanya berhasil memenangkan 1 dari 3 ronde pada babak penyisihan. Namun berbeda pada kompetisi kedua—Gonzfest yang diadakan SMA Kolese Gonzaga—keberhasilan kami meningkat dan masuk babak semifinal setelah mengalahkan dua tim debat. Di babak semifinal ini kami kalah karena kurang persiapan.


Tidak sampai di debat Bahasa Inggris, saya mencoba menjajaki Model United Nations (MUN). Saya mengikuti dua MUN dalam kurun waktu 2 tahun, berbarengan dengan debat Bahasa Inggris. Mengikuti MUN membuat saya belajar tentang kondisi geografis, ekonomi, dan politik negara-negara lain. Saya juga belajar cara membuat position paper dan bagaimana cara sidang PBB bekerja. Walaupun tidak mendapat award dari kedua MUN yang saya ikuti, saya mendapat pengalaman berharga dan teman-teman baru dari luar Indonesia.


Tibalah masanya pengunguman eligible SNMPTN dan saya berhasil masuk peringkat 20-an. Saat itu bulan Januari dan selain mengikuti lomba, saya baru mulai les bulan itu jadi saya merasa takut karena UTBK-SBMPTN tinggal H-3 bulan. Tiap hari saya mendaraskan doa agar bisa diterima di SNMPTN dan tidak perlu mengikuti UTBK-SBMPTN.


Kalau saya boleh mengulang waktu, saya ingin kembali ke masa-masa kelas 11. Penyesalan terbesar saya adalah ketika tidak mulai membenahi diri dan memperbaiki cara belajar ketimbang membiarkan apa yang sudah terjadi. Saya larut dalam kesibukan saya mengikuti lomba dan ekstrakurikuler sehingga lupa akan prestasi akademis saya yang menyebabkan saya turun ke peringkat 7 bahkan 9.


Pandemi COVID-19 melanda saat kelas 11 semester 2, itu yang memperparah semangat belajar saya. Tekanan batin iya, terkurung di rumah iya, sengsara rasanya. Sampai akhirnya saya berusaha bangkit kembali untuk memperbaiki diri selama kelas 12.


Pengunguman SNMPTN tiba, saya tidak berharap banyak karena tahu alumni dari saya sekolah saya yang masuk fakultas kedokteran lewat jalur ini jumlahnya nol. Belum lagi nilai saya yang rata-ratanya hanya 82. Benar saja, saya tidak lulus. Rasa sedih iya, tapi saya sudah menduga hal itu, hanya masih berharap.


Saya sedikit ogah-ogahan belajar untuk UTBK-SBMPTN. Selain karena waktu persiapan yang kurang, saya masih pusing dengan ujian sekolah mendatang. Untungnya saya berhasil melalui semua itu walaupun hasilnya sangat tidak memuaskan. Saya tahu saya bisa lebih baik dari ini, saya tahu saya tidak berusaha maksimal untuk ujian sekolah dan UTBK-SBMPTN. Saya merasa kesal pada diri saya sendiri tapi tidak ada yang bisa diubah, nasi sudah menjadi bubur.


Selama mengerjakan UTBK, saya nyaris tidak bisa mengerjakan soal TKA. Bahkan di mata pelajaran favorit saya, Biologi, banyak soal yang saya tidak tahu jawabannya. Dari situ saya sudah bisa menebak, saya tidak mungkin lulus. Sekali lagi hal itu terbukti benar. Saya sedih dan kecewa bukan main. Yang paling membuat saya sedih adalah ketika harus menatap raut muka orang tua saya ketika tahu saya gagal lagi. Mereka tidak marah dan tidak mengatakan mereka kecewa atau bagaimana, tapi saya tahu mereka pasti sedih. 


Saya langsung tancap gas untuk mendapatkan PTN manapun lewat jalur mandiri. Jalur mandiri yang saya ikuti sekitar sembilan jalur. Di setiap jalur saya selalu memilih fakultas kedokteran sebagai pilihan pertama dan fakultas kedokteran gigi—apabila ada di PTN tersebut—sebagai pilihan kedua. Dari sembilan jalur mandiri yang saya ikuti, saya tidak tembus sama sekali ke fakultas impian saya. Saya lulus di dua pilihan cadangan yaitu di Keperawatan, Universitas Jember dan Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Sebelas Maret. 


Dalam hati saya, masih ada keinginan untuk mengikuti UTBK lagi tahun depan demi mendapatkan fakultas impian saya. Ada dua pilihan di depan saya, entah mengambil salah satu pilihan cadangan tersebut dan sambil belajar untuk UTBK, atau tidak mengambil pilihan cadangan sama sekali dan belajar untuk UTBK alias gap year. Saya takut sekali untuk mengambil opsi kedua. Saya tidak ingin ketinggalan dengan teman-teman saya yang sudah diterima di universitasnya masing-masing. Di sisi lain, saya tidak mungkin sanggup kalau harus berkuliah sambal belajar UTBK. 


Beruntung sekali saya memiliki orang tua dan lingkungan yang suportif. Kedua orang tua saya mendukung penuh untuk mengangggur satu tahun dan belajar untuk UTBK tahun depan. Keluarga besar pun tahu saya menganggur dan mereka tidak mempermasalahkan hal ini, mereka bahkan turut menyatakan dukungan mereka. Dengan dukungan sebesar itu, saya bangkit untuk sekali lagi mencoba UTBK. Saya berjanji tidak akan mengecewakan orang-orang yang telah mendukung saya, terutama kedua orang tua saya.


Mengikuti bimbingan online di selama 6 bulan membuat saya jauh lebih siap dari UTBK sebelumnya. Kali ini saya sudah mengukur kemampuan diri saya dan memilih strategi yang tepat untuk pemilihan universitas di SBMPTN. Di SBMPTN kali ini saya memilih UPN “Veteran” Jakarta sebagai pilihan pertama dan Universitas Sebelas Maret sebagai pilihan kedua. Pilihan pertama saya merupakan pilihan yang realistis setelah berkaca dari kemampuan saya mengerjakan soal-soal try out. 


Saya sudah berdoa dari bulan-bulan sebelumnya khusus untuk UTBK kali ini, yang tentunya diimbangi dengan belajar. Berbeda dengan posisi saya tahun sebelumnya dimana saya hanya mengandalkan doa tanpa usaha yang seimbang. Puji Tuhan saya lulus di pilihan pertama. Saya menangis terharu ketika membuka hasilnya dan orang tua saya juga turut berbahagia. Bahkan hari itu kami mengadakan pesta kecil dengan memesan makanan dari luar.


Sebelum pengunguman SBMPTN, saya sudah mendaftar beberapa jalur mandiri sebagai plan B kalau saya gagal. Saya batal mengikuti beberapa jalur mandiri tersebut kecuali SIMAK UI. Entah kenapa dalam hati kecil saya mengatakan untuk mencoba sekali lagi. 


Awalnya saya ragu untuk mengikuti SIMAK terlebih karena saya sudah mengurus pendaftaran ulang dan membayar UKT. Saya dan orang tua saya sempat berunding dan papa saya sempat berkata untuk tidak perlu ikut dan “mengalah” pada yang belum berhasil. Memang ada rasa dalam hati saya ingin ikut tapi saya hanya bisa menuruti perkataan orang tua. Tapi suatu malam, mama mendatangi saya dan mengijinkan saya untuk ikut SIMAK, yang tentunya saya sanggupi dengan senang hati.


Setelah pengunguman SBMPTN dan pendaftaran ulang, saya tidak belajar lagi selama sekitar seminggu. Ilmunya tentu tidak luntur tapi harus diasah lagi karena kali ini medan perang yang saya akan tempuh tingkat kesulitannya diatas UTBK.


SIMAK UI memang terkenal susah, UTBK saja sudah susah, apalagi yang satu ini. Tahun kemarin saja saya sampai menangis karena tidak bisa mengerjakan soal. Sembari menunggu pengunguman SBMPTN saya sudah mengikuti kelas di bimbingan online khusus SIMAK UI, namun berhenti selama seminggu setelah saya diterima di SBMPTN. Sisa waktu saya belajar tinggal 5 hari dan saya harus bergegas. Tumpukan soal-soal SIMAK UI yang saya cetak tahun lalu saya kerjakan ulang, tapi mayoritas sumber soal saya adalah soal-soal 2 tahun terakhir yang saya dapat dari bimbingan online dan YouTube. Setiap hari selama 5 hari saya bagi jadwal belajar saya untuk mempelajari satu pelajaran satu hari agar fokus saya tidak buyar. 


Hari-H ujian SIMAK. Ketenangan menyelimuti saya selama mengerjakan soal, tidak ada rasa panik sama sekali. Persiapan saya selama 5 hari krusial itu ternyata berbuah manis. Tahun kemarin saya tidak bisa mengerjakan soal fisika sama sekali, tahun ini saya bisa 4 soal. Tahun kemarin saya hanya bisa mengerjakan 5 soal biologi, tahun ini saya bisa 13 soal. 


Hasil kerja keras saya selama dua tahun ini akhirnya tiba pada momen ini, 13 Juli, pengunguman SIMAK UI pada jam 15:00 WIB. Saya mengundur waktu 30 menit dari jam pengunguman untuk antisipasi mental apabila saya ditolak seperti tahun kemarin. Tapi Tuhan sungguh baik, bukan kata ‘maaf’ yang saya dapat, namun kata ‘Selamat’. Saya benar-benar tidak bisa berkata apa-apa selama 10 detik setelah melihat tampilan di layar. Setelah sadar, saya langsung keluar kamar, berteriak memanggil mama saya dan papa yang baru saja pulang. Kami bertiga menatap layar itu dengan tatapan tidak percaya. Saya diterima menjadi bagian dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


Dulu saya iseng pernah menulis FK UI sebagai target saya ketika ditanya waktu kegiatan Outbond kelas 10. Tanpa saya sadari, langkah demi langkah yang saya lalui selama ini menuntun saya sampai detik ini. Kalau bukan karena campur tangan Tuhan saya mungkin tidak menulis esai ini sekarang.


Part III: Komitmen dan Harapan


FK UI merupakan fakultas bergengsi di seluruh Indonesia, banyak orang bermimpi untuk bisa masuk kesini. Untuk mencapai mimpi itu, saya membuat komitmen sebelum masuk FK UI, yaitu:


Ikuti jadwal belajar yang sudah disusun


Istirahat ketika lelah dan jangan diforsir


Olahraga sebelum belajar


Tidur tepat waktu


Saya membuat janji pada diri saya sendiri setelah diterima. Janji yang harus saya tepati ketika mulai berkuliah sampai lulus nantinya.  


Perkuliahan tetap yang utama. Capai nilai yang memuaskan. 


Ikut beberapa UKM yang mendukung prestasi serta sesuai minat


Memiliki lingkungan sosial yang suportif dan kondusif


Lulus tepat waktu


Jangan kecewakan orang tua


Sungguh kehormatan bisa menjadi bagian dari Angkatan 2022 FK UI yang saling mendukung dan suportif. Harapan saya bagi angkatan ini adalah:


Setiap anggota bisa saling mengenal (paling tidak tahu nama dan wajah)


Tidak ada anggota yang tertinggal, saling membantu ketika ada yang mengalami masalah


Adanya rasa kebersamaan dan kekeluargaan dalam angkatan


Selain harapan untuk angkatan, saya memiliki harapan untuk diri saya sendiri dalam hal menjadi mahasiswa kedokteran dan dokter di masa depan, seperti:


Bisa menjadi mahasiswa yang berprestasi dalam bidang akademis dan non-akademis


Menjadi dokter yang mengabdi kepada masyarakat dan turut berkontribusi dalam dunia kesehatan


Kesehatan masyarakat menjadi hal yang penting sebagai sarana peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pembangunan ekonomi. Harapan yang saya miliki untuk kesehatan masyarakat dalam jangka panjang adalah:


Tenaga kesehatan menjadi penggerak utama dalam membangun wawasan masyarakat dan menjadi menjadi dongkrak untuk kenaikan kesehatan masyarakat


Agar terjadi Kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dan masyarakat, masyarakat sendiri harus memulai pola hidup yang sehat. Masyarakat pun harus menerima informasi yang baik agar tercapainya kesehatan setiap anggota masyarakat


Part III : Rencana jangka pendek dan jangka Panjang


Selama masa preklinik saya memiliki rencana yang mudah-mudahan bisa terwujud. Fokus utama tentu saja menjalani masa perkuliahan dengan rajin. Untuk semester-semester awal, saya ingin beradaptasi terlebih dahulu dengan sistem perkuliahan sembari mencari tahu organisasi atau UKM mana yang tidak terlalu membebani jadwal kuliah saya. 


Saya merasa gugup belakangan ini karena sistem akademik di universitas dan di sekolah jauh berbeda. Ketika diadakan kuliah umum saat hari kedua PKKMB mengenai sistem akademi di UI, saya merasa sedikit terbantu karena mendapatkan gambaran.  Saya akan berkomitmen dalam setiap mata kuliah, tugas-tugas serta ujian karena hal-hal tersebut sangat menentukan Indeks Prestasi. 


Selain fokus dalam perkuliahan saya pensaran dengan program MBKM terutama IISMA. Sudah lama saya ingin mencoba pertukaran pelajar keluar negeri dan saya rasa IISMA adalah wadah yang tepat untuk itu. Setelah mencari beberapa informasi dan kesaksian dari beberapa awardee IISMA di Twitter, saya bertekad untuk mencoba IISMA ketika mencapai semester 4 atau 5.


Ada beberapa UKM dan organisasi yang saya minati jauh sebelum bergabung dengan Universitas Indonesia. Salah satunya Paragita. Yang saya ketahui dari teman saya yang sudah bergabung dengan Paragita, di angkatannya hanya ada satu anak kedokteran. Tapi hal itu tidak masalah karena saya sendiri ingin ikut paduan suara sebagai pelepas penat dan penyaluran minat saya dalam bernyanyi. 


Saya juga tertarik untuk bergabung dengan organisasi yang ada di BEM IKM FK UI seperti KMK, AMSA, dan AVAC. Tentunya saya masih belum memutuskan pasti yang mana yang akan saya ikuti.


Part IV : Pesan untuk adik-adik yang ingin masuk FK UI


Untuk adik-adik yang ingin masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,


Pastikan inilah jalan yang ingin kalian tekuni. Menjadi dokter butuh waktu yang panjang dan dedikasi tinggi serta motivasi kuat untuk menyelesaikan pendidikan yang jauh lebih lama dari teman-teman kalian. Menjadi dokter berarti menjadi seorang life long learner, artinya seumur hidup kalian akan—bahkan harus—belajar terus-menerus. Karena dunia medis selalu berkembang pesat setiap saat, sebagai dokter kita tidak boleh ketinggalan dengan ilmu terbaru dan pengobatan yang mutakhir. Menjadi dokter berarti bukan sekedar profesi dengan gaji yang menjanjikan, yang utama adalah dedikasi kepada masyarakat karena kita adalah dokter yang mengobati pasien bukan semata mencari gaji dan pujian.

 
 
 

Recent Posts

See All

Commenti


Find Us On!

  • Instagram
  • Twitter
  • Youtube

© 2022 FKUI Brilian

bottom of page