Narasi Perjuangan - Isti’anah Fauziatus Sholihah
- FKUI 2022
- Aug 14, 2022
- 12 min read
Menuju Muara Perjuangan, FKUI
Halo semua, saat ini saya sedang menempuh perjuangan baru saya di tempat yang mungkin dicita-cita kan oleh banyak orang. Ya, seperti judulnya, tempat itu adalah FKUI. Barangkali diantara banyaknya orang yang membaca esai ini, kalian adalah salah satu pejuang yang mungkin sempat gagal, atau mungkin masih menginjak bangku sma, atau mungkin juga teman saya sesama pejuang FKUI 22.
Seperti halnya air sungai yang mengalir dari hulu, tak selalu berakhir di muara yang sama. Layaknya sungai yang berkelok-kelok, tak bisa terus lurus perjalannya. Dalam prosesnya, mungkin bertemu bebatuan, dan hal lain yang tak bisa diprediksi keberadaanya. Begitulah kira-kira gambaran bagaimana perjuangan saya dalam meraih cita-cita menjadi bagian dari FKUI.
Sebelum bercerita lebih lanjut, saya akan memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama saya Isti’anah Fauziatus Sholihah, kalian bisa memanggil saya dengan sebutan “Isti”. Pendidikan yang saya tempuh sebelum akhirnya bermuara di FKUI adalah di SMAN 1 Tasikmalaya, tepatnya di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Dan alhamdulillah, berawal dari tempat itulah akhirnya saya bisa berada di kampus impian, dan akhirnya membuat esai perjuangan ini.
Kembali ke hari paling mengharukan yang mungkin pernah saya alami selama 17 tahun hidup saya. Yaitu pada pengumuman SBMPTN, Kamis, 23 Juni tahun 2022. Hari dimana tak ada alasan untuk saya berhenti mengucapkan rasa syukur saya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hari dimana seluruh keluarga besar saya meneteskan air mata bahagia. Dan hari dimana saya menerima ratusan kata “selamat” selain dari tampilan layar UTBK saya.
Rasanya masih tidak nyata. Bisa menjadi bagian dari FKUI, khususnya di kelas reguler. Bisa bertemu dan belajar paduan suara bersama Pak Dibyo, foto di depan gedung rektorat, dan bertemu dengan hampir 10.000 mahasiswa UI lainnya. Hal yang dulu bahkan hanya dapat saya bayangkan dalam mimpi saya. Mimpi yang saya tulis, saya doa kan setiap hari. Momen ini akan selalu memiliki ruang tersendiri di hati saya, sebagai bentuk apresiasi atas perjuangan saya selama ini.
Masuk melalui jalur SBMPTN tentu bukanlah hal yang mudah. Apalagi, FKUI pasti menjadi incaran ratusan bahkan ribuan siswa di Indonesia. Dengan kuota yang telah disediakan, peluang untuk masuk sangatlah kecil. Banyak hal yang dikorbankan, tentu sejalan dengan besarnya impian yang diidamkan. Peluh keringat yang membasahi pun, terbayar dengan tangis haru. memang, dalam prosesnya kita banyak bertemu rintangan. Godaan dari teman untuk bermain, daftar drama korea yang belum di tonton, yah, hal lain yang dapat men-distract tujuan kita.
UI atau Universitas Indonesia. Universitas satu-satunya yang memiliki identitas “Indonesia” di dalam nya. Dan juga menjadi universitas TERBAIK dan tertua yang ada di Indonesia. Mungkin, Ketika saya masih menginjak bangku SMP, ya, seperti orang awam pada umumnya, saya berpikir bahwa UI hanya berisi dengan orang-orang hebat dan jenius, yang tentu sulit untuk saya berada di antara nya. Karena bagaimanapun, saya adalah orang yang berasal dari daerah, yang hanya bisa mendownload foto UI untuk sekedar dijadikan wallpaper HP saya. Tak dipungkiri, saya sering bercanda dengan teman-teman saya, berkata bahwa saya akan masuk FKUI dengan bangganya. Ya, itung-itung manifesting, seperti pepatah bilang, “omongan adalah doa”. Dalam benak saya, “siapa sih, yang tidak mau masuk FKUI?”, lucu ya, saking istimewanya di hati saya.
Impian saya menjadi seorang dokter, memang sudah berawal sejak saya menginjak bangku sekolah dasar. Hanya omong kosong, yang diucapkan oleh seorang anak perempuan kecil berumur 7 tahun. “Saat besar nanti, aku ingin menjadi seorang dokter!” begitu katanya. Dan ya, anak kecil itu kini telah merealisasikan ucapanya 10 tahun lalu. Tak ada yang tak mungkin, bukan.
Lalu, bagaimana saya bisa memutuskan bahwa saya bercita-cita menjadi seorang dokter? Sesimple bermain dokter-dokteran bersama teman komplek saya. Ya, saya senang menjadi sosok “dokter” dalam permainan itu. Dengan stetoskop mainan yang saya buat dengan barang seadanya. Saya merasa senang melihat orang lain senang. Dalam kata lain, saya mengobati mereka yang sakit untuk kembali sehat dan tersenyum. Contoh kecil lain nya, Ketika ibu saya hamil adik pertama saya. Saya sangat exited Ketika jadwal check up ke dokter kandungan, hal yang sangat saya kagumi pada saat itu adalah alat USG, untuk melihat keadaan adik saya didalam kandungan pada saat itu. Sejak saat itu, bahkan hampir setiap hari, saya akan bermain dokter-dokteran bersama ibu saya. Lucu jika dibayangkan, memakai moisturizer sebagai pengganti gel juga botol aqua sebagai alatnya, dan bersikap seolah-olah saya menjadi dokter kandungan yang sedang menangani pasiennya.
Melihat anaknya tertarik akan dunia kedokteran, orang tua saya pun terus mendorong dan memotivasi saya untuk menggapai cita-cita itu. Ya, saya akui motivasi terbesar saya tak lain adalah orang tua saya sendiri. Menjadi anak pertama dari tiga bersaudara, membuat saya berpikir bahwa saya memiliki tanggung jawab yang besar di keluarga ini. Baik untuk membantu biaya pendidikan adik-adik saya nanti, juga untuk membahagiakan kedua orang tua saya di masa tua. Kebetulan, saya dengan adik saya yang pertama terpaut umur yang cukup jauh, yaitu 7 tahun. Jadi, saya lah orang yang paling orang tua saya harapkan.
Dalam keluarga besar ayah dan ibu saya, tidak ada satupun yang masuk ke UI, dan juga tidak ada satupun yang menjadi dokter. Namun meski begitu, tak meluluhkan semangat saya untuk dapat menjadi dokter pertama di keluarga besar saya. Banyak sekali orang yang menganggap remeh saya. “untuk apa sih, mending pilih yang pasti masuk saja”. Well, tunggu tanggal mainnya, biar saya buktikan pada mereka, bahwa saya mampu. Bahwa orang tua saya tidak pernah salah mendidik saya. Sekarang, saya ucapkan banyak terimakasih karena kata-kata itu telah menjadi api semangat untuk saya belajar selama ini.
Sedikit bercerita tentang background Pendidikan saya sejak saya menginjak sekolah dasar. Sebelumnya, di kelas 1 hingga 3 SD, saya bukan orang yang begitu memikirkan nilai. Ketika anak lain senang belajar agar bisa mencapai ranking 1 dan mendapat hadiah dari ibunya, saya tidak. Saya hanya merasa cukup bahagia dengan apa yang telah saya punya pada saat itu. Dan merasa hal itu bukan lah hal yang special. Hingga di suatu saat, saya mengikuti olimpiade untuk pertama kalinya dalam hidup saya. Meski hanya sampai di tahap semifinal, namun pada saat itu, orang tua saya sangat senang dan bangga pada saya. Saya mengerti, kata “tidak apa-apa, itu sudah bagus, kok” yang selalu mereka katakan ketika saya mendapatkan ranking 10, sebenarnya hanya kalimat penenang untuk saya. Mereka tetaplah orang tua yang pasti ingin melihat anaknya berprestasi. Dari sana, saya mulai senang mengikuti bimbingan belajar, mengerjakan PR dengan sungguh-sungguh dan tentunya membuahkan hasil manis yaitu mencapai ranking 3 besar di kelas. Jika saya diizinkan untuk bertemu dengan diri saya pada saat itu, tentu saya akan sangat berterima kasih karena telah berhasil mendobrak pintu zona nyamannya. Bukan masalah seberapa besar hasil yang didapatkan, tetapi kemauan dari diri sendiri untuk berubah dan berusaha, menjadi salah satu faktor saya bisa berada disini sekarang.
Oke, sekarang saatnya anak perempuan itu menginjak bangku sekolah menengah pertama. Disini, ayah saya melihat bahwa saya memiliki potensi besar. Kebetulan, di SMP yang saya tuju ini, terdapat program kelas Cerdas Istimewa/kelas Akselerasi. Kelas ini, diperuntukan bagi anak-anak yang mampu mencapai IQ tertentu. Dan ya, sesuai dugaan ayah saya, saya memiliki potensi yang cukup untuk berada di sana. Akhirnya saya masuk menjadi bagian dari kelas akselerasi SMPN 5 Tasikmalaya. Di sekolah ini, saya merasa potensi saya semakin terpancar. Dengan diiringi doa orang tua, saya mampu mempertahankan ranking pertama saya mulai dari masuk hingga lulus. Disisi lain, saya juga aktif mengikuti banyak ekskul dan organisasi. saya lulus dengan kurun waktu 2 tahun dan menjadi lulusan terbaik. Tentu masih dengan mimpi yang sama, FKUI.
“Ternyata, memang sesulit itu, ya”. Kalimat pertama yang saya ucapkan ketika masuk di bangku SMA. Di sini, saya mulai merasakan adanya persaingan yang begitu kuat. Saya belajar banyak hal, tentang apa makna mimpi yang sebenarnya. Bertemu banyak orang yang tentu memiliki mimpi mereka masing-masing. Mendengarkan alasan-alasan mereka mengapa mengambil mimpi tersebut. Bagaimana caranya kita harus terus mempertahankan, bahkan menaikkan nilai kita di kelas. Dan pada saat inilah pandangan saya tentang dunia perkuliahan semakin terbuka. Awalnya memang cukup mengejutkan untuk saya. Namun, mimpi itu tetap menjadi pegangan saya. Bagaimanapun rintangan yang dihadapi, semakin saya berpegang kuat, maka rintangan itu tidak akan pernah menjadi alasan saya untuk jatuh.
Strategi yang pertama saya lakukan di bangku SMA ini, adalah dengan mengerti bagaimana cara saya belajar. saya pikir, dengan mengenali cara belajar saya, saya bisa lebih mengefisienkan waktu dan tenaga yang saya punya. Ternyata, saya sudah mengerti dan memulai hal itu sejak di jenjang SD. Saya menyadari bahwa saya senang belajar bersama dengan teman-teman. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengikuti bimbingan belajar yang ada di kota saya. Saya juga memutuskan untuk terus fokus pada pendidikan saya dan tidak membaginya dengan organisasi. Keputusan ini saya buat dengan berbagai pertimbangan yang telah saya lakukan.
Ternyata masa bertemu dengan teman-teman saya hanya sementara, di kelas 10 semester 2 Allah memiliki kehendak lain. Datangnya COVID-19 membuat proses belajar mengajar di sekolah saya menjadi terganggu. Disini, saya hanya bisa berharap pada diri saya sendiri, begitupun dengan orang lain. Tak akan ada belajar bersama, kerja kelompok, dan hal lain yang memicu adanya kerumunan. Namanya juga hidup, tak melulu berjalan sesuai yang diharapkan. Apalagi, kita sebagai generasi muda, harus selalu sigap menghadapi perubahan.
Akhirnya saya Kembali berjuang di luar zona nyaman saya. Mulai belajar mandiri dirumah dan membiasakan diri untuk menonton penjelasan guru di video. Saya sadar, bukan hanya saya yang kewalahan pada saat itu, siswa, mahasiswa, orang tua, guru, bahkan seluruh dunia harus mulai memulai banyak kebiasaan baru sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing. Saya mengerti dan menerima dampak yang terjadi dari adanya wabah ini. Akhirnya saya menuliskan goals saya untuk bisa terus meningkatkan prestasi saya baik sedikit, asal meningkat. Mulai me-manage waktu dengan baik, memiliki target belajar, dan melawan rasa malas yang semakin hari semakin mengganggu jalanya pembelajaran. Saya bersyukur memiliki teman-teman yang sangat suportif dalam hidup saya. Sehingga musibah yang tengah terjadi ini, menjadi terasa lebih ringan.
Masa-masa kelas 10 mungkin menjadi masa peralihan dan pembiasaan baru untuk saya. Perjuangan lebih mendalam yang saya lakukan dimulai sejak menaiki kelas 11. Disini, saya mulai mencari informasi mengenai UTBK, bagaimana mekanisme nya, jalur-jalur masuk mandiri yang ada, perkiraan nilai minimal untuk lulus, dan kuota yang disediakan. Disisi lain, saya tetap mempertahankan nilai saya agar terus naik dengan harapan dapat masuk menjadi siswa eligible. Saya mulai mempelajari soal-soal UTBK. Dalam pikiran saya satu, SUSAH. Mungkin pada saat itu saya hanya mampu mengerjakan 3 dari 20 soal yang ada. Itu Pun memerlukan waktu hampir setengah jam. Oke, disini saya mulai ragu untuk menjadikan FKUI sebagai lanjutan dari jenjang pendidikan saya.
Saya menjalankan masa-masa kelas 11 ini dengan tetap fokus pada nilai akademik saya, namun tetap menyisihkan waktu untuk sekedar mengerjakan/mencari tahu soal dan informasi dari berbagai universitas. Masih ada sisi egois dalam diri saya, namun saya sadar untuk mampu menyelaraskan itu dengan kemampuan yang saya punya. Seiring dengan ilmu yang saya pelajari dan kuasai, saya berharap tidak menjadikan universitas lain sebagai pilihan.
Lagi-lagi, dengan izin Allah dan doa kedua orang tua, saya bisa terus menaikkan nilai saya hingga mendapat ranking pertama di kelas 12 dan masuk dalam deretan siswa eligible. Meski begitu, nilai saya tidak cukup untuk dapat mendaftar ke FKUI. Pada saat itu, saya resah, apakah akan memanfaatkan kesempatan SNMPTN ini dengan mengambil universitas lain yang dirasa lebih realistis atau menyia-nyiakannya dengan tetap mengambil UI meski tau tidak akan diterima.
Akhirnya saya kembali mengingat, sebenarnya tujuan saya itu apa, dan mau bagaimana kedepanya. Saya akhirnya menyadari, sejak awal memang tidak harus UI. Sejak awal, saya hanya ingin menjadi seorang “dokter” saya ingin membantu dan mengabdi pada banyak orang. Bukan perihal gaji yang saya dapat, tapi bagaimana rasa empati dan simpati yang saya punya bekerja untuk membantu banyak orang yang membutuhkan jasa saya. Memang, dengan tidak menjadi dokter rasa empati dan simpati itu harus melekat dalam hidup seseorang. Namun, dengan menjadi seorang dokter saya memiliki ilmu, memiliki keahlian, yang bisa langsung saya praktekkan. Pada akhirnya, saya memutuskan untuk mengorbankan mimpi saya itu, di SNMPTN dengan memilih universitas lain.
Sedikit hadir rasa kepercayaan diri saya saat mendaftar SNMPTN, karena jika dilihat dari faktor-faktor penentunya, saya sudah cukup unggul. Hanya sedikit, karena saya tau anggapan bahwa SNMPTN adalah jalur “ghaib”. Saya mulai berfokus pada tryout dan mengerjakan banyak soal UTBK. Mencatat target materi setiap harinya. Mengulang dan membahas soal yang telah diajarkan sebelumnya. Saya Kembali menjadi diri saya sebelumnya. Belajar di sekolah, lanjut di bimbingan belajar, dan lanjut di rumah. Begitu terus mungkin gambaran hari-hari yang saya lakukan, namun tetap selalu menyempatkan waktu untuk bermain bercanda bersama teman-teman seperjuangan saya.
Tibalah waktu pengumuman SNMPTN, dengan adanya sedikit harapan, timbulah sedikit kekecewaan ketika ternyata saya dinyatakan ditolak. Yah, kegagalan pertama, jangan patah semangat masih banyak sekali jalur yang dapat saya lalui didepan. Beruntung saya berada di lingkungan yang benar-benar positif, sehingga tak butuh waktu lama untuk saya kembali belajar dan berusaha seperti sebelumnya.
Adu argumen terjadi di antara saya dan ayah saya setelahnya. Ayah saya yang sangat yakin dan percaya anaknya bisa diterima FKUI dengan saya yang tahu betul kemampuan saya sendiri, dan layak bersanding dengan universitas mana. Saya jelaskan bahwa nilai tryout saya bahkan jauh dibawah rata-rata, sangat kecil kemungkinan saya untuk diterima, saya juga memberi solusi pilihan universitas lain sebagai gambaran. Perdebatan itu terus berlanjut hingga akhirnya hari terakhir pendaftaran SBMPTN, dimana saya harus memasukan pilihan universitas dan jurusan saya.
Dengan berat hati, saya mengalah dan memasukkan FKUI menjadi pilihan pertama saya. Tentu, saya sudah mewanti-wanti pada ayah saya untuk tidak menyesal setelahnya. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada, saya semakin belajar dengan giat. Saya benar-benar tidak ingin mengikuti ujian mandiri karena dapat mengeluarkan banyak biaya, juga mengorbankan banyak waktu dan tenaga lagi. Bagaimanapun hasilnya nanti, Allah yang menentukan, tugas saya hanya belajar dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Tentu dengan semangat 2x lipat mengingat pilihan saya adalah FKUI. Saya juga menyadari, perjuangan tak hanya tentang lahir, tapi juga batin untuk menembus langit, kepada Allah yang maha baik. Saya melakukan beberapa sunnah yang diajarkan dalam agama saya seperti saum, sedekah, shalat tahajud, dan senantiasa bershalawat kepada Nabi.
Qodarullah, kita sampai di detik-detik dimana saya membuka pengumuman SBMPTN. Posisinya, berada di ruang tengah, dengan seluruh anggota keluarga dan laptop yang senantiasa menyala. Tidak ada sedikitpun keberanian dalam diri saya untuk sekedar mengklik angka per angka huruf per huruf yang ada di keyboard laptop saya. Saya benar-benar menyerahkan kuasa penuh pada ayah saya. Dan, BOOM, saya diterima di Universitas Indonesia. Catat, saya DITERIMA. Tak ada kata yang bisa menjelaskan perasaan saya pada saat itu. Mungkin tangis kedua orang tua saya dapat sedikit menjelaskan betapa bangga dan bahagianya mereka.
Sampailah kita pada muara perjuangan saya selama ini. Berawal dari sekolah yang sama, belajar dengan guru yang sama, namun tak menghantarkan saya bersama teman-teman saya pada muara/akhir yang sama. Begitulah kira-kira, perjuangan yang saya lalui untuk akhirnya bisa sampai disini.
Banyak pelajaran yang saya petik dari lika-liku perjalanan ini, tentunya selalu saya jadikan evaluasi setiap harinya. Perubahan yang saya rasakan semenjak merantau untuk berkuliah adalah bagaimana kita belajar untuk hidup mandiri. Komitmen untuk terus berusaha sebaik-baiknya, dari segi apapun, meski sudah tidak berada dalam kawasan kedua orang tua. Bagaimana saya harus dapat menjaga diri saya, dan mengurus diri saya sendiri, dengan tetap menjadi sivitas akademika yang baik di FKUI. Mungkin dahulu, saya masih bisa belajar tanpa memikirkan, “mau makan apa hari ini?”. Namun sekarang, saya belajar untuk lebih bertanggung jawab pada diri saya sendiri.
Saya berkomitmen, akan menjadi “saya” dengan versi yang jauh lebih baik, lebih kuat, dengan kondisi saya saat ini. Berada di lingkungan baru, bertemu dengan rekan-rekan satu angkatan dari berbagai penjuru Indonesia, semakin membuat saya tertarik untuk terus mengeksplor pengetahuan saya tentunya di bidang Kesehatan, juga di bidang sosial.
Dengan privilege yang saya punya, dalam artian menjadi mahasiswa UI, berada di kota besar yang tentu lebih maju dari kota yang saya tinggali, dan bertemu dengan dosen hebat yang akan mengajar saya nanti, saya memiliki harapan yang cukup besar. Saya tak hanya ingin berproses, namun juga berprogres. Saya yakin, bahwa rekan-rekan saya juga memiliki harapan masing-masing yang pasti sangat mulia. Angkatan 2022, tak hanya memiliki harapan, namun menjadi harapan bagi Indonesia 5-6 tahun kedepan. Seperti nama angkatan yang telah kami buat, yang merepresentasikan angkatan kami untuk kurun waktu yang tak terbatas, “brillian”. Apapun keadaanya nanti, kami akan menjadi rekan sejawat, tetaplah bersatu dan saling membantu. Kita sama-sama mewujudkan Indonesia merdeka kesehatan. Tidak akan ada lagi satu daerah yang kekurangan tenaga kesehatan nantinya, karena kitalah yang akan mengisi kekurangan itu. Kitalah yang bertanggung jawab dan dipercaya oleh Tuhan untuk menolong banyak orang yang membutuhkan jasa kita.
Selama menjalani perkuliahan, saya memiliki target untuk senantiasa memaksimalkan ilmu yang saya dapat agar menjadi bekal saat nanti mengabdi kepada masyarakat. Tentunya, hal ini menjadi salah satu kehormatan untuk saya dapat belajar langsung pada orang-orang hebat yang ada disana. Karena pada dasarnya, saya berada disini untuk menjadi perantara bagi masyarakat yang membutuhkan saya, oleh karena itu, menjalani kewajiban sebagai mahasiswa merupakan tujuan utama saya. Jika saya tidak belajar dengan sungguh-sungguh, lantas bagaimana saya dapat membantu banyak orang nantinya. Malah, saya bisa menjadi bencana bagi orang lain. Untuk merealisasikan hal tersebut, saya berusaha untuk mengerjakan tugas dengan tepat waktu, dan mengerahkan tenaga yang saya punya untuk menampung ilmu sebanyak mungkin hingga saya bisa lulus dengan predikat Cumlaude. Meski telah melewati masa praklinik, prinsip itu akan selalu saya bawa hingga nanti, karena ilmu tak hanya didapat dari perkuliahan.
Setelah menempuh 3,5 tahun perjalanan, saya akan menghadapi masa koasisten (koas). Disinilah saya mulai bertemu langsung dengan pasien. Tentunya dengan stase-stase yang ada, semakin spesifik pembelajaran yang saya dapatkan. Bertemu dengan pasien yang memiliki sikap yang berbeda-beda, mungkin baik, mungkin juga sedikit menguras kesabaran, disini saya akan lebih memahami situasi, bagaimana cara dokter senior menghadapi pasien dengan sigap. Saya ingin menjadikan pengalaman saya di koas ini sebagai acuan saya kedepannya. Oleh karena itu, saya akan berusaha menjalani koas ini dengan sebaik-baiknya.
Selain peran kami sebagai calon dokter, masyarakat pun turut berperan penting dalam meningkatkan derajat kesehatan di Indonesia. Karena bagaimanapun, tak hanya cukup perhatian dari satu pihak. Untuk mewujudkan impian bersama, perlu adanya kerjasama dari dua arah. Contoh kecilnya, dengan mulai memiliki kesadaran untuk sekedar melakukan 3R (reuse, reduce, recycle) dirumah, tentu dapat mengurangi adanya kemungkinan nyamuk demam berdarah. Contoh lain yang sekarang sedang terjadi adalah dengan mengikuti protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah. Tentu seiring berjalanya waktu, ke dinamisan yang terjadi akan semakin mendorong derajat kesehatan Indonesia.
Semangat, angkatan 23!! Tak ada kata selesai dalam perjuangan. Selama kita masih ada di dunia, teruslah berjuang. Tentang bagaimana akhirnya nanti, bukan menjadi urusan kita. Dalam prosesnya,
jatuh bangun yang terjadi, akan membangun pondasi diri yang lebih kuat. Satu kegagalan bukanlah akhir dari segalanya.
Semoga ada hal kecil yang dapat dipetik dari esai ini. Akhir kata dari saya, sampai berjumpa di lain waktu!
Comments