Narasi Perjuangan - Abu Alfan Ansori
- FKUI 2022
- Aug 14, 2022
- 10 min read
Bagi saya hidup adalah sebuah perjalanan dan pengembaraan. Perjalanan tiada henti yang harus terus menebar benih kebermanfaatan dan pengabdian. Entah itu pengabdian kepada keluarga, masyarakat sekitar, bahkan kepada bangsa. Sesuai dengan apa yang dikatakan Mahatma Gandhi “cara terbaik untuk menemukan dirimu, adalah dengan kehilangan dirimu dalam pelayanan bagi orang lain”. Mahatma Gandhi, seorang pejuang humanis dari negeri India. Setiap pergerakan langkahnya selalu menekankan pentingnya menghargai kemanusiaan. Baginya, kemampuan untuk mencintai mampu membuat manusia berubah, berkembang menuju perbaikan dan penyempurnaan. Gandhi juga lah yang lantas memberikan sebuah pertanyaan dalam garis besar perjalanan hidup saya “kita hidup untuk apa dan siapa? Lantas ke mana hidup ini akan kita bawa?”. Dan ini, mungkin sedikit dari riwayat perjalanan tentang pencarian jawaban atas pertanyaan tadi.
Perkenalkan, saya Abu Alfan Ansori. Sejak kecil setiap kali ada orang bertanya tentang cita-cita, terkadang saya jawab dokter, pilot, teknisi, pengusaha, bahkan astronaut. Entah apa yang dipikirkan ketika itu, mungkin hanya karena keren melihat semua sosok profesi itu di layar kaca. Padahal sebenarnya saya tidak tahu akan cita-cita yang ingin saya gapai ketika beranjak tumbuh.
Saat itu Maret 2015, saat saya tahu bahwa kedua orang tua saya menginginkan anaknya untuk melanjutkan sekolahnya di salah satu Pondok di daerah Sumedang, 32 KM jaraknya dari rumah memang bukan sebuah permasalahan utama, tetapi bagi saya jauh dari rumah dan harus hidup mandiri adalah hal yang saya takuti. Masa sekolah dasar saya cukup pemalu dan pendiam, bahkan maju ke depan kelas saja bisa membuat saya menangis dan tidak ingin pergi ke sekolah keesokan harinya. Jauh dari rumah dan harus bergaul dengan banyak orang dari banyak tempat jelas merupakan sebuah masalah besar bagi saya saat itu, tetapi saya tidak bisa berbuat banyak selain menuruti keinginan kedua orang tua. Pada akhirnya saya terpaksa bersedia untuk itu.
Setahun berlalu tanpa perubahan berarti, saya tetap seorang alfan yang takut ketemu orang dan tetap merengek ingin pulang saat orang tua datang. Bisa dikatakan semua ini bermula saat saya menginjak kelas 8, sebuah transformasi kepribadian yang dialami oleh diri saya. Saat itu saya dipaksa mencalonkan untuk maju dalam pemilihan ketua OSIS oleh wali kelas saya, siapa sangka seorang Alfan yang setahun lalu takut untuk bertemu orang banyak akhirnya terpilih menjadi seorang ketua OSIS yang bahkan harus mengatur jalannya kegiatan seluruh santri mulai beranjak dari kasur sampai kembali ke kasur, menenangkan para santri baru yang merengek ingin pulang padahal itu adalah gambaran saya setahun lalu. Sampai suatu saat saya tersadar bahwa hal yang selama ini saya cari ada di sekitar saya, yaitu kebermanfaatan. Dan hal itu pulalah yang pada akhirnya menjadi tumpuan dasar atas tujuan yang akan saya raih ke depannya, Fakultas Kedokteran.
Sebuah privilese tersendiri bagi saya mempunyai keluarga yang selalu suportif atas keputusan saya. setelah kedua orang tua saya tahu ke mana langkah saya akan dituju, saya diberi arahan tentang fakultas, dunia kerja, universitas, tes masuk universitas dan sebagainya. Ketika itu saya berpikir bahwa itu terlalu dini bagi seorang anak kelas 9 untuk menyiapkan ke mana dia akan berkuliah, toh masa SMA pun belum saya rasakan.
Masa tiga tahun SMP telah saya lalui dengan baik, banyak pelajaran kehidupan yang saya dapat dari pondok, pertemanan, pengabdian, kebermanfaatan, keikhlasan, bahkan keberanian menjadi bekal saya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Bagi saya tiga tahun itu cukup, tetapi tidak bagi kedua orang tua. Berharap bisa melanjutkan di salah satu SMA Negeri Kota Bandung, saya kembali terpaksa untuk melanjutkan sekolah di tempat yang sama dengan sebelumnya, pondok pesantren. “jadilah dokter yang pintar agama, tidak cukup menjadi intelek, kamu juga harus menjadi ulama” begitu ucapnya.
Begitu menginjakkan kaki di SMA saya sadar akan tujuan saya, saya sadar pula bahwa kurang dari 5% pendaftar yang berhasil lolos masuk Fakultas Kedokteran. Maka dari itu sejak dari awal SMA ambisi saya sudah muncul, tetapi bisa dibilang itu adalah ambisi sesaat. Lambat laun ambisi saya mulai menurun karena keaktifan di berbagai organisasi sekolah, apalagi ketika itu ada pandemi yang menghabiskan setengah dari kehidupan saya di SMA. Bagi saya bukan perkara mudah untuk terus berusaha mewujudkan ambisi itu, sekolah daring, tidak ada teman belajar, dan saya harus sadar bahwa belum ada alumni sekolah yang berhasil masuk FK PTN, mungkin karena sekolah baru ketika itu dan saya merupakan angkatan kedua di sana. Lambat laun saya menemukan teman belajar, sama-sama ingin masuk FK. Seiring berjalannya waktu kami sering bertukar informasi, belajar bersama, dan tentunya sambat bersama.
Hurlock (1980) pernah berkata bahwa masa remaja adalah masa yang labil, seseorang akan dengan mudah menerima informasi dari luar dirinya tanpa ada pemikiran lebih lanjut. Terlebih lagi ini menyangkut tentang masa depan hidupnya, terkadang seseorang cepat sekali berganti pikiran tentang masalah ini, walaupun mungkin pikiran sebelumnya adalah pikiran yang ia yakini betul sudah ada di jalan yang benar. Pada awal kelas XII saya pun merasakannya, entah kenapa keyakinan diri untuk masuk kedokteran tiba-tiba hilang begitu saja. Tidak seperti kelas X dan XI, ketika itu hanya kedokteran satu-satunya tujuan saya. Kelas XII tiba-tiba saya berkeinginan menjadi seorang civil engineer, terlihat keren saat itu bisa menjadi project officer berkelana di berbagai proyek pembangunan. Namun ternyata itu hanya bagian dari masa transisi yang begitu rumit. Masa transisi remaja yang mungkin menentukan keseluruhan masa hidupnya, yang apabila berdasar pada ego semata bisa jadi berakhir buruk nantinya. Sebuah masa transisi yang begitu membingungkan, tetapi juga menantang.
Di pertengahan kelas XII dengan dampingan kedua orang tua, guru, dan tutor bimbel, saya bisa sedikit menyimpulkan masa transisi tersebut. Saya melupakan suatu hal mendasar tentang perbedaan antara apa yang saya inginkan dan apa yang saya butuhkan. Setelah melewati perubahan konstelasi pikiran dengan bertumpu pada keyakinan awal, kebermanfaatan, saya kembali memilih ilmu kedokteran sebagai tujuan saya selanjutnya. Ya memang setiap profesi memiliki kebermanfaatan masing-masing, tetapi bagi saya kedokteran merupakan jawaban atas beragam pertanyaan yang timbul di awal. Pada akhirnya memang kedokteranlah yang menjadi tujuan saya, tetapi seperti ditampar realitas bahwa belum ada satu pun alumni dari sekolah saya masuk FK PTN ditambah pihak sekolah yang masih meraba-raba tentang jalur masuk seleksi perguruan tinggi negeri dan juga pihak sekolah yang lebih memprioritaskan para siswa untuk melanjutkan studi di negara timur tengah. Itu menjadi tamparan sekaligus cambukkan bagi diri saya, yang pada akhirnya memberikan dua pilihan antara berganti dan beralih jurusan atau terus memegang teguh pendirian walau berpeluang besar untuk gagal. Tentunya saya lebih memilih opsi kedua, walau entah apa yang akan terjadi ke depannya setidaknya saya sudah mencoba bukan? Saat itu pula saya sekaligus mencari informasi tentang perguruan tinggi mulai dari jalur masuk, tes masuk, materi seleksi, bahkan hingga beasiswa. Pilihan saya jatuh pada Universitas Indonesia, entahlah hanya itu yang terlintas di pikiran saya ketika itu.
Gerbang masuk pertama menuju perguruan tinggi telah terbuka, jadwal SNMPTN telah diumumkan LTMPT. Alhamdulillah saya berkesempatan untuk bisa mendaftar di SNMPTN, peringkat III pararel ketika itu. Seingat saya, saya tidak memiliki masalah serius terhadap pembelajaran di kelas, walaupun mendapat intensitas pembelajaran eksak yang kurang karena terdapat 23 mata pelajaran di sekolah saya. Saat proses pendaftaran SNMPTN, hal yang saya takutkan terjadi, FK UI terlalu jauh untuk saya gapai. Saya tidak nekat ketika itu, perlahan saya lepaskan FK UI dan mencari FK PTN lainnya. Entahlah, SNMPTN tidak memberikan harapan banyak bagi saya. Akhirnya saya lebih mempersiapkan diri untuk mengikuti tes seleksi selanjutnya.
Desember 2020, beberapa informasi tentang tes UTBK telah dikeluarkan LTMPT. Informasi yang ditunggu-tunggu para siswa kelas XII seluruh Indonesia. Setelah perubahan signifikan pada UTBK 2020, timbul pertanyaan bagaimanakah sistem UTBK tahun ini? Tapi itu bukan poin inti dari riwayat ini. Januari 2021, rasa percaya diri ini telah melambung untuk “menghajar” soal-soal UTBK tahun ini. Setiap hari menggandrungi buku, tontonan materi yang selalu jadi teman makan dan perjalanan, soal yang dilahap habis-habisan setiap harinya, bahkan puluhan tips n trick telah usai dibaca. Sesuatu yang menjadi rutinitas kala itu. Senin s.d. minggu, tanggal merah tiada artinya. Seperti semua orang pada umumnya, tentunya semangat itu tidak selalu full power. Terkadang rasa bosan melanda, tapi apabila bayaran dari semua ini adalah kelolosan SBMPTN, maka saya rela membayarnya.
Rangkaian belajar UTBK membuat saya lupa bahwa esok hari adalah pengumuman SNMPTN. Hari itu semangat belajar tidak karuan, saya lebih memilih untuk scroll Twitter kala itu, bisa dibilang rehat di sela-sela belajar UTBK. Sampai pada pengumuman itu tiba. Seperti yang diketahui sejak awal, saya tidak terlalu berharap atas hasil pengumuman itu, masih ada rasa berharap terjadi mukjizat sebetulnya. Dan ternyata benar, ketika membuka hasil pengumuman terpampang besar di layar bertuliskan “ANDA DINYATAKAN TIDAK LULUS SELEKSI SNMPTN 2021”. Kontras sekali layar itu, berwarna merah merona sangat kontras dengan warna di sekelilingnya. Sesuai perkiraan awal, jauh rasanya untuk bisa lolos di SNMPTN. Walaupun tidak mempunyai ekspektasi tinggi terhadap hasil itu, itu tetaplah menyakitkan. Apalagi melihat orang-orang bisa lolos di kampus tujuannya, rasa menyakitkan itu semakin menjadi. Namun, untuk apa terus menerus memelihara rasa itu, toh sejak awal sudah tidak berekspektasi tinggi. Akhirnya saya meneruskan belajar untuk tes berikutnya yang kira-kira kurang dari sebulan lagi akan terlaksana.
Hari-hari berikutnya diisi dengan berbagai soal, buku, dan bolak-balik bimbel. Sempat bingung rasanya untuk memilih pilihan kampus saat pendaftaran UTBK. Diskusi panjang dengan tutor bimbel dan orang tua ditambah rasa takut akan kegagalan (lagi-lagi) saya harus melepaskan Universitas Indonesia sebagai pilihan. Terlalu tinggi rasanya. Pilihan saya akhirnya jatuh di FK salah satu PTN di Jawa Timur sebagai pilihan pertama dan mengambil bidang teknik di pilihan kedua. Kedua pilihan itu jauh dari yang saya bayangkan sejak awal, tapi tidak apa-apa toh apabila lolos di pilihan pertama tetap jadi dokter juga (sering kali ucap saya sekaligus menenangkan hati).
Singkat cerita sampailah di puncak penantian, pengumuman SBMPTN akan diumumkan beberapa jam lagi. Saya memutuskan untuk membuka pengumuman itu di luar rumah, supaya tidak terlalu berlarut bersedih apabila tidak lolos ucap saya. Dan pengumuman itu tiba, hasilnya tidak sesuai ekspektasi saya. Sebuah ucapan “JANGAN PUTUS ASA DAN SEMANGAT” menghiasi layar gawai saya. Entahlah, rasa itu sulit dideskripsikan, antara kecewa, sedih, marah terjadi bersamaan. Saya merasa bahwa Allah tidak mengiringi langkah saya, bahwa kutipan “usaha tidak mengkhianati hasil” adalah omong kosong belaka. “Berlarut-larut dalam kesedihan bukanlah jalan keluar,” ucap ibu saya. Akhirnya saya sadar dan membuka kembali lembaran latihan soal dan buku serta mendaftar di beberapa ujian mandiri. Hasilnya? Genap 10 PTN menolak saya di tahun itu dan saya mengetahui bahwa hasil selalu mengkhianati usaha.
Hasil dari ujian di tahun itu membuat saya tersadar bahwa kemampuan saya cenderung pas-pasan, terlalu tinggi bagi saya untuk menggapai UI setelah semua kegagalan itu. Tahun itu saya memutuskan untuk menunda setahun studi saya, tentunya keputusan yang terpaksa karena tidak ada PTN yang menerima saya ketika itu.
Masa gapyear itu tentunya saya isi dengan bimbel, mempersiapkan segalanya untuk membuktikan bahwa kesimpulan saya salah. Tidak hanya mengikuti bimbel, pencarian jati diri yang lebih lanjut saya lakukan, pertanyaan besar yang kembali muncul “apakah memang seperti ini hidup yang Anda cita-citakan?” akhirnya saya memutuskan untuk bergabung kegiatan kerelawanan mengajar di panti asuhan. Rasanya mengejutkan, hal itu sangat saya nikmati. Bertemu dengan teman-teman seusia dengan saya yang mungkin tidak seberuntung saya. Kegiatan itu menjadi titik balik kesyukuran diri saya, bahwa saya seharusnya lebih bersyukur tentang apa yang saya punya dan kemudian mengingatkan suatu hal sangat penting bagi pencarian jati diri saya, kebermanfaatan. Mungkin itulah sebuah pelajaran yang ingin Tuhan berikan mengapa di tahun itu hidup saya penuh dengan kegagalan. Peristiwa itu menjadi tumpuan semangat saya akan apa yang akan saya raih di kemudian hari.
Januari 2022, tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Perhitungan saya menunjukkan bahwa hari itu tepat 120 hari menuju UTBK 2022. Bekal materi yang saya pelajari di semester 1 kemarin belumlah cukup, saya mencoba memperdalam materi dan mencoba sebanyak-banyaknya tipe soal. Tidak ada hari libur ketika itu, tidur dan makan adalah urusan ke sekian jauh di bawah mengerjakan soal. Hasil TO yang belum menunjukkan kenaikan yang signifikan menantang saya untuk terus lebih giat belajar dan mengerjakan soal. Senin menuju senin saya berlatih untuk mengerjakan semuanya. Sebulan menuju UTBK mungkin menjadi saat genting bagi saya, antara harus memupuk percaya diri dan takut kegagalan itu terulang menjadi dua hal yang sering berkecamuk dalam pikiran. Sempat terpikir untuk memilih UI di pilihan pertama, tetapi saya terlalu penakut apabila kembali mengulang kegagalan yang sama. Rasa takut itu menjadi bayangan dalam diri saya selama sebulan genting itu, saya tidak cukup berani untuk melawannya. Kemungkinan itu akan tetap ada, gumam saya. “bagaimana kalau tahun ini saya gagal lagi?” menjadi pertanyaan yang menghiasi hari-hari saya. Hari UTBK tiba, saya meminta untuk tidak diantar orang tua pada hari itu, supaya lebih tenang. Semenjak berangkat dari rumah, keringat dingin mengucur di seluruh badan saya sampai di tempat ujian. Selama ujian tidak ada masalah berarti kecuali soal yang membuat kepala seakan-akan sebuah benda kopong. Mual yang menghampiri setelah ujian itu selesai. Setidaknya satu beban saya telah selesai, entah bagaimana hasilnya setidaknya saya sudah berusaha sekuat tenaga.
Sampai juga di hari pengumuman SBMPTN, sehari penuh saya tidak berani keluar kamar, bahkan untuk menemui kedua orang tua pun saya tidak berani. Terlalu takut untuk menghadapi sore nanti. Seharian penuh saya hanya terbaring. Sampai saat pengumuman itu bisa terbuka, muncul sebuah barcode di sana disertai ucapan “SELAMAT ANDA DINYATAKAN LOLOS SELEKSI SBMPTN”. Senang tiada tara saat saya mengetahui hal itu, tetapi saya harus puas akan hasil diterima di pilihan kedua.
Setelah dinyatakan lolos SBMPTN akhirnya saya berani mencoba untuk mendaftar di UI, tidak lolos pun tidak apa-apa, setidaknya saya telah berani mencoba. Saya kembali membuka buku dan latihan soal untuk menghadapi SIMAK UI dengan pilihan pertama Fakultas Kedokteran. Ujian SIMAK saya lakukan dengan lebih tenang, tidak ada hambatan berarti. Tidak semua soal terjawab, tetapi bisa dikatakan cukup untuk kemampuan saya. Tidak ada ekspektasi lebih untuk itu, harapan untuk masuk UI telah jauh dari pikiran saya. Di hari pengumuman pun semua berjalan seperti biasa, sampai pada akhirnya saya mencoba untuk membukanya. Perlahan-lahan harapan itu kembali muncul, menjadi bagian dari FKUI yang sejak lama saya tuju. Tidak berekspektasi adalah omong kosong besar, nyatanya harapan itu masih ada dalam diri saya. Angka demi angka saya masukkan kemudian terpampang ucapan “SELAMAT” yang tidak usai saya baca. Euforia itu akhirnya muncul, sebuah keberhasilan atas apa yang sudah saya perjuangkan lebih dari setahun ke belakang, atas hal yang telah mengganggu kenyamanan tidur, atas hal yang selama ini saya nantikan. Rasa senang, terharu, bahagia, dan banyak lainnya yang bersatu padu membentuk sebuah rasa yang tidak bisa digambarkan oleh kata-kata. Akhirnya kutipan itu benar, bahwa usaha tidak akan mengkhianati hasil itu bukanlah sebuah keniscayaan. Pada akhirnya di sinilah saya, keluarga besar FK UI 2022 yang akan menjadi perjalanan berkesan lainnya dalam hidup saya.
Menjadi seorang dokter memerlukan waktu yang tidak sebentar, dibutuhkan kesabaran dan ketekunan untuk bisa menuntaskan masa studi dengan tepat waktu. Tidak jarang, terdapat mahasiswa yang memilih untuk berhenti di tengah jalan dan tidak melanjutkan pendidikan. Untuk menghindari hal tersebut, saya akan mencoba untuk aktif di kegiatan non akademik sebagai sarana untuk meningkatkan soft skill dan mengisi sela-sela padatnya kegiatan perkuliahan.
Kedua orang tua saya pernah berkata “jadilah dokter yang memberikan kebermanfaatan pada masyarakat luas, jadilah dokter yang berkesan di hidup orang banyak. Dokter bukanlah profesi untuk mengumpulkan kekayaan dunia, carilah sebanyak-banyaknya doa dari setiap orang yang kamu obati karena doa-doa itulah yang akan selalu mengiringi langkahmu”. Pesan itu yang akan selalu mengiringi langkah saya.
Harapan saya sederhana, sesederhana menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat luas, khususnya bagi mereka yang tidak mempunyai akses untuk itu. Berkontribusi dalam peningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Sesederhana itu. Semua mengarah ke pertanyaan tadi, kebermanfaatan.
Bagi teman-teman yang ingin meneruskan asa di Fakultas Kedokteran Universitas. Bukan hal yang mudah untuk bisa menjadi bagian dari FK UI, dibutuhkan perjuangan dan kegigihan yang akan menguras tenaga dan waktu. Perjalanan menjadi dokter pun bukan merupakan hal yang mudah. Maka sebelum kalian memantapkan asa, berjanjilah pada diri sendiri untuk terus memperjuangkannya. Jalan kalian tidak akan mudah, tetapi selalu ingat bahwa semua itu akan terbayar suatu hari nanti.
Comments